Sabtu, 13 September 2014

[Cerpen] Dua Amplop Merah


Cerpen ini adalah ide lawas yang dicoba ditulis ulang. Versi awal cerpen ini berjudul: "Batu Kryptonite Isa", merupakan cerpen fiksi pertama yang saya tulis, tentunya dengan gaya bahasa yang masih cupu. (Ya sekarang juga masih cupu sih, hehe...).
Terus pernah juga saya coba tulis dalam bentuk flash fiction di "Dua Amplop Putih".
So, ini adalah versi ketiga untuk sebuah ide yang sama. Bedanya, untuk yang ketiga ini saya lebih banyak melakukan riset. Mungkinkah terasa bedanya? Hanya pembaca yang bisa menilai.
Happy reading :)
***


Belum pernah aku segelisah ini hanya karena melihat sebuah amplop. Padahal itu hanya amplop biasa, berbentuk persegi panjang dan bernuansa warna merah. Oke, memang bukan amplop itu yang membuatku gelisah hingga serasa ingin muntah, melainkan sesuatu di dalamnya.
Di hadapanku, lelaki dengan kacamata yang melorot hingga ke ujung hidung itu menarik selembar kertas dari dalam amplop tersebut. Ia mempelajarinya dengan serius, seolah kertas yang sedang digenggamnya adalah teks proklamasi kemerdekaan. Ia membaca tanpa suara dan tak sadar bahwa keningnya yang mengernyit membuatku serasa ingin bangkit dan lari.  Di mataku, ia laksana seorang hakim yang siap membacakan putusan. Dan aku adalah orang yang tengah duduk di kursi pesakitan.
Polycystic ovarian syndrome,” ia menggumam tanpa melihat ke arahku. Matanya masih terus menelusuri isi kertas di genggamannya.
Sialan! Hanya itu kah yang bisa dia katakan setelah apa yang selama ini ia lakukan padaku? Menanyaiku macam-macam tentang gaya hidupku, apakah aku merokok, apakah aku mengkonsumsi alkohol, bagaimana asupan dietku, teraturkah siklus haidku bahkan tentang hubungan intimku. Dia bilang aku harus menjawab dengan jujur untuk keperluan anamnesa. Aku pun menurut.
Aku juga menurut ketika ia beberapa kali menyuruhku berbaring dengan perut telanjang. Lantas setelah ia melapisi perutku dengan semacam jelly, ia akan membuatku mati-matian menahan geli ketika sebuah alat, yang aku tak tahu namanya, menjelajah perutku. Dan walau aku benci setengah mati, aku tidak pernah membantah ketika ia memasukkan stik plastik yang telah dilapisi kondom ke dalam kemaluanku kemudian membiarkannya memandangi layar monitor hitam putih sambil menggerakkan-gerakkan stik itu. Sungguh saat-saat yang paling menyiksa. Tapi aku rela melakukannya demi mendapatkan sebuah jawaban.
Ia juga menyuruhku mendatangi laboratorium kesehatan dengan membekaliku selembar surat pengantar. Lagi-lagi, aku tak punya pilihan lain selain menurut dan membiarkan seorang petugas menyedot darahku untuk dianalisa. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali.
Semua itu kulakukan untuk mendengar sebuah kesimpulan. Tapi jawaban yang keluar dari mulut lelaki itu hari ini membuatku kian tak mengerti. Sindrom “entah apa namanya” yang entah apa maksudnya. Kenapa sih dia tidak memilih diksi yang mudah kupahami saja?
 “Maksudnya, Dok?” aku bertanya dengan suara gemetar.
Lelaki itu mengangkat dagunya sedikit, matanya beralih ke arahku. Masih dengan kacamata yang melorot, dia mulai menjelaskan dengan bahasa yang lebih bisa kupahami. Dia mengatakan bahwa hasil laboratorium semakin menguatkan dugaannya. Aku terkena sejenis sindrom reproduksi yang menyebabkan indung telurku jarang atau bahkan tidak memproduksi sel telur sama sekali. Itu lah mengapa siklus menstruasiku tidak teratur. Dengan kata lain, walau setiap hari aku berhubungan intim, kemungkinan terjadi pembuahan dalam rahimku adalah nyaris nol.  
“Apakah...apakah karena dulu saya merokok, Dok?” tanyaku dengan cemas. Aku setengah mati memberanikan diri untuk menanyakan itu.
Dokter itu mengangkat bahu. “Penyebab pastinya adalah ketidakseimbangan hormon, Bu. Pemicunya belum diketahui secara pasti. Bisa dari keturunan, bisa juga dari gaya hidup.”
“Berarti saya tidak bisa hamil bukan karena saya dulu perokok dan minum alkohol kan, Dok?” tanyaku lagi. Kali ini dengan nada tidak sabar.
Dokter itu menarik napas sebelum memilih jawaban yang diplomatis. Menurutnya, merokok dan alkohol memang bisa mempengaruhi fertilitas seorang wanita. Tapi dia tidak bisa memastikan apakah kedua hal itu lah yang membuatku mendapat gangguan kesuburan. Dia menambahkan agar aku tidak perlu cemas. Kalau aku mau, dia akan memberikan terapi untuk mengatasi masalah reproduksiku dan memperbesar probabilitas terjadi kehamilan.
“Seberapa besar kemungkinannya, Dok?”
“Ya kalau soal itu kan wewenang Tuhan, Bu. Kita hanya bisa berusaha.” jawabnya sambil membenarkan letak kacamatanya yang melorot.
Sialan! Kenapa harus sebut-sebut Tuhan? Kalau hanya untuk mendengar hubungan antara Tuhan dan kehamilan, aku tak perlu susah-susah menemui seorang dokter spesialis kandungan dan merogoh dompet dalam-dalam untuk melakukan prosedur tes ini itu. Aku menemuinya karena ingin mencari jawaban yang lebih ilmiah ketimbang masalah takdir. Menyesal aku mengeluarkan uang ratusan ribu sekali tatap muka dengan dokter kandungan, yang katanya paling senior di kota ini, hanya untuk mendengar kata-kata tentang Tuhan dan wewenangNya. Sebuah variabel yang hanya makhluk langit saja yang mengerti.
Lagi-lagi aku terpaksa menelan makianku. Kali ini aku tidak lagi bertanya dan segera berpamitan sebelum emosiku meledak dalam bentuk butiran air mata.
Aku sudah tak tahan lagi. Sudah lebih dari tujuh tahun aku menikah. Itu artinya, setidaknya sudah delapan puluh empat bulan aku selalu berharap-harap cemas. Sudah tak terhitung berapa lusin aku membeli strip tes kehamilan dan mencelupkannya dalam cairan kuning di pagi hari demi bisa melihat dua garis merah yang tak kunjung muncul.
Dari dulu aku sudah mencurigai diriku sebagai penyebab dua garis merah itu tak pernah muncul. Aku dan rokok. Aku dan alkohol. Dua hal yang sudah sejak lama kutinggalkan.
Aku mulai mengenal balutan tembakau saat masih sekolah. Awalnya hanya sekedar iseng. Tapi lama-lama, aku tak sanggup jauh-jauh dari rokok. Rokok memberiku sensasi rasa damai tanpa sadar apa yang tengah dilakukan nikotin terhadap sel-sel otakku. Saat itu, aku masih menghisapnya secara sembunyi-sembunyi. Takut orang tuaku tahu. Aku masih ingat untuk tidak pernah alpa menyemprotkan aneka wangi-wangian di seragam putih abu-abuku sebelum pulang demi menyamarkan aromanya.
Menjadi mahasiswa membuatku lebih bebas bergaul dengan rokok. Aku tak peduli segala peringatan yang tercetak dengan tulisan kecil di kemasan maupun iklan rokok. Bagiku, nikotin adalah kawan terbaik. Buktinya tiap kali aku merokok, rasanya otakku terasa terang benderang dan membuatku mudah mengerjakan tugas kuliah. Aku tak sadar bahwa ketika nikotin membuat otakku kecanduan, racun-racun berbahaya lainnya perlahan mulai merusak keseimbangan organ reproduksiku.
Beberapa tahun kemudian, statusku berubah lagi. Aku sudah jadi karyawan di perusahaan terkenal di jantung kota metropolitan ini. Kekrabranku dengan tembakau semakin erat. Malah kini aku mendapat kawan baru. Alkohol. Kami bertiga (aku, rokok dan minuman keras) menjadi teman yang tak terpisahkan.
Melarikan diri dari tekanan pekerjaan adalah alasan pertama aku memilih alkohol sebagai sahabat. Kepadatan lalu lintas yang kian parah dari hari ke hari adalah alasan kedua. Menghabiskan waktu di bar bersama kolega, house music, rokok dan alkohol adalah pilihan yang jauh lebih baik ketimbang menghadapi kemacetan lalu lintas dalam keadaan penat. Aku abai, bahwa cairan yang kuanggap sebagai karib itu perlahan membuat organ reproduksiku tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Aku tak menyadari bahwa siklus datang bulanku mulai tak teratur.
Sampai delapan tahun lalu, pertemuanku dengan  seorang lelaki mengubah segalanya. Lelaki itu membuatku mabuk kepayang melebihi mabuk karena alkohol. Lelaki itu membuatku kecanduan, melebihi kecanduanku pada tembakau. Ternyata jatuh cinta bisa membuat kehidupan berbalik ke arah yang tak disangka-sangka. Aku tak pernah mengira bahwa pada akhirnya aku sanggup mengkhianati persahabatanku dengan alkohol dan tembakau, demi seorang laki-laki yang kemudian memberiku status baru. Istri.
Tapi segalanya sudah terlambat. Alkohol dan rokok telah mengobok-obok organ reproduksiku jauh sebelum ia melakukannya di malam pertama. Masa lalu yang kukira sudah tertinggal di belakang, ternyata masih terus menempel dalam kehidupanku seperti benalu. Mencegahku menjadi wanita sempurna untuk lelakiku.
Suamiku memang tidak pernah membahas soal kehadiran anak. Dia bahkan selalu menghindar jika kuajak untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan. Dia selalu bilang, “Sudahlah, bukankah bayi adalah titipan Tuhan? Kalau Dia merasa kita siap, pasti akan Dia kasih juga kan?”
Tapi hari ini, dokter kandungan yang diam-diam kutemui tanpa sepengetahuannya sudah menjawab semua. Tuhan tak kan pernah memberiku kesempatan memiliki seorang bayi yang berasal dari rahimku. Dan itu karena aku sendiri. Aku sendiri yang merusak kesempatan itu dengan kebiasaan buruk. Sekalipun itu sudah jadi masa lalu.
Bukankah ini tak adil untuknya? Walaupun dia bilang dia mencintaiku karena dia memang ingin berbagi sisa hidupnya denganku, aku tahu jauh di dasar hatinya dia mendambakan kehadiran bayi.
Aku tahu dari tatapan matanya tiap kali kami mengunjungi kerabat yang baru saja melahirkan. Aku tahu dari caranya memandang anak-anak tetangga yang kerap main ke rumah kami. Aku tahu dia setengah mati menolak keinginan ibunya, yang sudah tak sabar ingin menimang cucu pertama, untuk menikah lagi. Tentu saja dengan perempuan yang tidak mandul.
Aku tidak bisa begini terus. Demikian juga dengan suamiku. Dia tidak boleh selamanya menunggu sesuatu yang tak kan pernah hadir di antara kami. Aku juga tak ingin membuatnya terjepit dalam pilihan yang sulit. Aku dan ibunya.
Kugenggam erat amplop merah yang di dalamnya terdapat hasil observasi terhadap kondisi hormonalku. Isi amplop itu sebenarnya sudah cukup menjelaskan semuanya walau mungkin suamiku butuh waktu untuk memahami. Tapi tak urung aku tetap meraih selembar kertas lagi dan mulai menulis.
Bukankah tak ada yang lebih menyakitkan daripada sebuah perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal?
*
Epilog:
Terburu-buru, Anggan masuk ke dalam rumah sambil membawa sepucuk amplop. Amplop persegi biasa dengan nuansa warna merah. Tak sabar ia untuk menunjukkan isi amplop itu pada Alena, istrinya.
Anggan tahu, wanita yang sudah tujuh tahun dinikahinya itu menyimpan beban pikiran yang berat. Ia yakin, isi amplop itu sedikit banyak akan membantu mengurangi beban pikiran Alena.
Namun alangkah terkejutnya Anggan mendapati istrinya yang telentang kaku dengan wajah pucat di ranjang kamar tidur mereka. Di sampingnya, terdapat sebotol pil-pil kekuningan dan sebuah amplop dengan warna yang sama dengan amplop yang sedang dibawanya. Amplop dengan logo laboratorium kesehatan.
Dengan gemetar, Anggan membuka amplop tersebut. Isinya dua lembar. Yang pertama berisi istilah kedokteran yang membuat keningnya mengernyit. Yang kedua berisi tulisan tangan istrinya. Sebuah ucapan selamat tinggal dan penjelasan singkat mengapa Alena memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Anggan terduduk lemas di samping tubuh kaku istrinya. Dengan air mata meleleh, diremasnya amplop merah yang sedari tadi digenggamnya. Apa yang ada dalam amplop itu sudah tak ada gunanya.
Terlambat. Seandainya saja Anggan datang lebih cepat, mungkin Alena masih sempat melihat isi amplop itu. Isinya hanya selembar, juga berisi istilah kedokteran, hasil analisa cairan semen milik Anggan.
Di sana tertulis: Azoospermia*.

-selesai-

*Azoospermia: kondisi cairan semen (air mani) yang tidak mengandung sel sperma. Pria azoospermia tidak mungkin dapat menghamili pasangannya karena tidak ada “benih” yang dikeluarkan saat berhubungan intim.

Senin, 01 September 2014

Sakhi





Gadis kecil itu bernama Sakhi. Usianya 7 tahun dan baru saja pulang sekolah.
Lelaki yang sedang duduk di ruang tamu itu, Sakhi tak tahu namanya, tapi dia hampir yakin, gara-gara lelaki itu, siang ini Mama tidak menghiraukan kedatangannya. Biasanya Mama selalu berdiri di teras rumah mereka yang asri bahkan sebelum Sakhi mencapai pintu depan.
Mama memang selalu sibuk menjahit sepanjang hari. Tapi sesibuk apa pun, Mama selalu menyempatkan diri menyambut Sakhi ketika didengarnya suara anak gadisnya itu membuka pagar. Sekalipun Mama sedang tenggelam dalam kertas-kertas desain, Mama selalu menyempatkan untuk bercengkerama dengan Sakhi tiap siang. Bertanya ini itu. Bagaimana di sekolah? Apakah Sakhi lapar? Apakah Sakhi haus?
Mama memang ibu yang paling pengertian di dunia. Beliau tahu betul perjalanan pulang dari sekolah di bawah terik matahari dan paparan polusi udara membuat tenggorokan Sakhi selalu terasa kering kerontang.
Rasanya seperti habis berjalan di gurun Sahara, keluh Sakhi suatu hari yang dijawab Mama dengan gelak tawa. Bukankah Sakhi belum pernah ke Gurun Sahara?
Siang ini Mama tidak muncul di teras, bahkan setelah Sakhi melepas sepatu dan meletakkannya di rak. Jelas lelaki asing itu lah penyebabnya.
Agak aneh melihat seorang tamu lelaki datang ke rumah. Biasanya tamu yang datang menemui Mama kebanyakan perempuan yang minta dijahitkan atau didesainkan baju. Atau, kalau pun ada tamu laki-laki, biasanya berseragam coklat seperti seragam Papa yang bekerja di kantor Kejaksaan.
Lelaki di hadapan Mama itu berkulit gelap karena sengatan matahari. Ia mengenakan kaus tipis dengan celana kain yang warnanya sudah pudar. Kesepuluh jari tangannya saling berpilin. Wajahnya yang gelisah tampak berkeringat. Cuaca memang panas, tapi Sakhi yakin keringat di dahi dan pelipis lelaki itu bukan karena salah cuaca. Bukankah dia baru saja berjalan di bawah terik matahari tapi tak berkeringat sebanyak itu?
Rasa ingin tahu Sakhi pada lelaki yang kedua lututnya bergoyang-goyang itu memupus rasa hausnya, sementara rasa laparnya tergerus oleh rasa penasaran melihat wajah serius Mama yang menatap lelaki itu dengan pandangan aneh. Antara kaget dan benci. Antara muak dan sedih.
Belum sempat Sakhi bertanya ada apa, siapa laki-laki itu, mengapa ia datang ke rumah, Mama sudah menyuruh Sakhi segera masuk kamar dan berganti baju.
Mbak Mimin, pembantu keluarga mereka, sudah berdiri di balik sketsel pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Jari telunjuknya menempel di bibirnya yang sedikit dimonyongkan, pertanda Sakhi tak usah banyak bicara. Tentu saja ini agak sulit dilakukan bagi Sakhi yang biasanya cerewet. Tapi melihat wajah Mama yang tak seperti biasa membuat gadis kecil itu kali ini memutuskan untuk tidak membantah.
Sakhi melempar pandangan ke arah Mama dan lelaki itu sekali lagi sebelum menghilang ke dalam kamarnya sendiri. Sayup-sayup terdengar suara lelaki itu berkata, “Begitulah Bu, saya tidak punya pilihan lain selain ke mari.”
***
Malam itu, Sakhi memejamkan mata. Ia masih tidur di kamar yang sama dengan Papa dan Mama.
Orang tua Sakhi mengira dia sudah tidur.
Sebenarnya Sakhi memang sudah hampir tidur, tapi suara tinggi kedua orang tuanya membuatnya memilih untuk pura-pura tidur.
Papa dan Mama sedang membicarakan lelaki yang datang tadi siang. Ternyata lelaki itu menyampaikan sesuatu tentang seseorang yang disebut Bapak.
Mama bilang, lelaki itu salah satu kawan Bapak. Ia menyampaikan kalau Bapak sedang sakit. Paru-paru basah. Kawan-kawan Bapak sudah patungan untuk membawa Bapak ke dokter. Sekarang mereka kewalahan merawat Bapak karena Bapak tak punya tempat tinggal. Uang hasil patungan pun juga sudah habis untuk biaya berobat. Sekarang Bapak tidur dalam angkot, kendaraan milik seorang juragan yang selama ini menjadi andalan Bapak untuk bertahan hidup. Angkot itu sudah beberapa hari mandek di  terminal dekat stasiun. Untuk bangun saja Bapak susah, apalagi narik. Masalahnya pemilik angkot bersikeras meminta angkotnya kembali untuk dikemudikan sopir lain.
“Siapa Bapak?” tanya Sakhi dalam hati. Kedua alis di atas matanya yang terpejam nyaris menaut. Untung Papa dan Mama terlalu serius berbincang hingga tak sempat melihat putri semata wayang mereka yang sedang pura-pura tidur.
Pertanyaan Sakhi terjawab manakala Mama berkata bahwa kawan-kawan Bapak-sesama sopir angkot-akhirnya memutuskan untuk menghubungi Mama, satu-satunya anak Bapak.
Sampai di sini kantuk Sakhi sudah benar-benar musnah. Ia menahan diri untuk tidak bangun dan bertanya. Ia tetap memejamkan mata seraya berharap Papa dan Mama tak berhenti bercengkerama. Betapa tidak, sejak matanya mulai bisa melihat warna-warni dunia, Sakhi tak pernah bertemu dengan Kakek maupun Neneknya. Mama bilang, mereka semua sudah meninggal.
Dengan suara yang terdengar hari-hati, Papa berujar agar Mama segera menyusul Bapak. Kasihan Bapak kan, Ma?”
 “Kasihan?! Kenapa aku harus kasihan padanya?! Dulu dia tidak pernah kasihan pada kami?!” suara Mama tiba-tiba meninggi
“Bukan begitu maksud Papa. Biar bagaimana pun dia darah daging Mama kan?”
“Bukan!” tukas Mama galak. “Kalau Bapak benar-benar darah daging Mama, tak mungkin ia tega meninggalkan kami. Tak mungkin ia tega mencampakkan Ibu hanya karena perempuan lain!”
Papa bergeming. Mungkin kaget dengan reaksi Mama yang di luar dugaan.
“Papa bisa bayangkan bagaimana perasaan Ibu dulu melihat Bapak merangkul perempuan lain di depan matanya? Bahkan Bapak tega meninggalkan Ibu di tengah jalan, sementara ia check in di sebuah motel!” lanjut Mama.
Sakhi tak mengerti apa arti check in, tapi mendengar cara Mama mengucapkannya, sepertinya itu bukan hal yang baik.
“Tapi itu kan masa lalu, Ma. Bapak mungkin sudah menyesal sekarang”
“Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dulu saat Ibu masih ada?” suara Mama mulai terisak.
Agak lama Sakhi tak mendengar apa-apa kecuali isak tangis Mama.
“Ibu meninggal pelan-pelan karena kelakuan Bapak. Demi perempuan lain, Bapak tega mencaci maki dan memukul Ibu. Demi perempuan lain, Bapak tega meninggalkan kami dan tak peduli apakah kami mati atau bisa bertahan hidup? Jadi buat apa sekarang Mama peduli padanya?” ujar Mama di sela isak tangisnya.
Papa tak lagi bersuara. Mungkin dia pikir tak ada gunanya mendesak wanita yang sekian lama memendam luka yang tak pernah kering dalam hatinya. Papa hanya mengajak Mama untuk beristirahat karena hari sudah larut. Mereka tak lagi membahas perihal Bapak.
Kedua orang tuanya sudah lama tertidur pulas. Sakhi bisa mendengar suara dengkur halus keduanya. Namun gadis kecil itu tak bisa tidur. Dalam kepalanya ada satu tanda tanya besar.
Di mana Bapak akan tinggal jika angkot yang selama ini dipakainya untuk berteduh diambil pemiliknya?
***
Gadis remaja berambut sebahu itu bernama Sakhi. Usianya 16 tahun dan sore ini baru saja pulang les. Ia mengayuh santai sepedanya membelah jalanan berpaving menuju perumahan tempat tinggalnya.
Sakhi belum genap setahun tinggal di perumahan baru ini. Selama lima tahun terakhir, sudah dua kali ini ia pindah rumah. Baginya, rumah barunya ini benar-benar bisa membuatnya bernafas lega. Bagaimana tidak? Sebelum ini, Sakhi tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil tanpa halaman di daerah pemukiman padat penduduk. Jauh berbeda dengan rumah yang ia tempati sebelumnya bersama Mama, Papa dan Mbak Mimin.
Rumahnya yang dulu, walaupun tidak terlalu besar, tapi punya halaman yang ditumbuhi pohon jambu dan beberapa pot tanaman hias. Rumah itu juga memiliki kolam ikan di bagian belakang. Sakhi baru saja mulai menikmati tidur di kamarnya sendiri, tanpa Papa dan Mama, ketika ia terpaksa harus pindah ke rumah yang jauh lebih kecil dengan satu kamar.
Sakhi tak lagi bisa punya kamar tidur sendiri.
Mbak Mimin sudah tidak lagi bekerja di keluarga mereka sejak Sakhi pindah ke rumah kontrakan itu.
Tentu saja Mama agak kerepotan mengurus Sakhi sekaligus mengurus usaha desain busananya. Tapi untungnya Sakhi sudah agak besar. Jadi dia bisa membantu Mama mengerjakan pekerjaan rumah, sementara Mama mengerjakan desain dan menjahit pakaian.
Usaha garmen Mama berkembang. Keluarga Sakhi akhirnya punya cukup uang untuk pindah ke rumah yang lebih besar, di daerah perumahan one gate system kelas menengah yang terletak agak di pinggiran kota. Mama ingin mencari rumah yang lebih tenang untuk mendukung pekerjaan kreatifnya sebagai desainer.  
Tentu saja keinginan Mama itu terkabul. Di perumahan ini, tidak sembarangan orang boleh masuk. Tukang bakso atau tukang sayur yang hendak mengais rejeki di perumahan ini pun harus yang berijin.
Sakhi tetap mengayuh sepedanya dengan santai, menikmati udara sore yang mulai sejuk karena mentari sudah sedari tadi tergelincir. Setibanya di lapangan, salah satu ruang terbuka yang disediakan Developer untuk aktivitas warga, ia melihat sebuah gerobak bakso.
Sepertinya itu tukang bakso baru,” pikirnya. Sakhi belum pernah melihat gerobak berwarna biru tersebut. Pak Toyib, tukang bakso langganan Sakhi, gerobaknya berwarna putih. Melihat gerobak baru itu, tiba-tiba Sakhi ingin membeli. “Sekalian beli untuk Mama ah,” pikirnya sambil mengayuh sepedanya mendekat.
Alangkah terkejutnya Sakhi melihat tukang bakso itu bukannya sedang menunggui dagangannya melainkan telentang di atas lapangan rumput. Matanya mendelik dan wajahnya membiru. Kedua tangannya terkepal di dada. Lelaki itu mengeluarkan suara mencicit bagai tikus terjepit. Sakhi tak tahu apakah tukang bakso itu menyadari kehadirannya, tapi Sakhi tahu ia seharusnya mencari orang untuk menolong tukang bakso yang tengah sekarat itu.
Tapi Sakhi tidak segera mengayuh sepedanya untuk mencari bantuan. Tidak. Dia malah berdiri mematung memandangi tukang bakso yang tengah meregang nyawa tersebut. Dan ketika tukang bakso itu berhenti mendelik, berhenti mengeluarkan suara tercekik, sebentuk seringai tersungging di bibir Sakhi. Ia menghela napas sebelum akhirnya kembali mengayuh sepedanya pulang.
Masih dengan senyum sinis di wajahnya yang manis, ingatan Sakhi melayang ke masa-masa sembilan tahun yang lalu, ketika ia melihat lelaki yang juga sedang sekarat seperti tukang bakso tadi. Bedanya lelaki sembilan tahun lalu itu tidak meregang nyawa di sebuah lapangan rumput, melainkan di sebuah pos ronda di kampung tempat tinggalnya dulu.
Sakhi yang baru saja pulang sekolah mendelik ketakutan ketika melihat lelaki setengah baya tengah meregang nyawa di siang hari yang terik, saat semua penduduk kampung lebih memilih mencari kesejukan dalam rumah. Spontan ia berlari ke rumah memanggil Mama.
Mama, yang juga ikut melihat kondisi lelaki itu, seharusnya segera mencari bantuan. Tapi tidak. Mama malah berdiri mematung menyaksikan orang itu perlahan kehilangan nyawanya.
Sakhi bahkan masih bisa melihat senyum bahagia di wajah Mama ketika menggandengnya pulang tanpa menghiraukan Sakhi yang terus bertanya ini itu. Sakhi tak mengerti mengapa Mama tampak gembira melihat lelaki itu meninggal dunia.
Tak butuh waktu lama bagi Sakhi untuk akhirnya memahami seluruh rangkaian cerita. Sebab tak butuh waktu lama bagi warga kampung untuk memergoki tubuh tak bernyawa itu. Hampir seluruh warga kampung tahu siapa dia.
 Kematian lelaki itu akhirnya menjawab pertanyaan Sakhi ketika pertama kali mendengar soal Bapak. Setelah angkot Bapak diminta oleh pemiliknya, pos ronda itu menjadi tempat tinggal Bapak hingga ajal mengakhiri penyakitnya. Sakhi tahu hal itu dari orang-orang yang datang ke rumah dan mengabarkan kematian Bapak tanpa tahu bahwa sebenarnya Mama sudah tahu lebih dulu.
Tak ada seorang pun yang menyalahkan sikap dingin Mama. Tak ada seorang pun yang mencela Mama karena keengganannya merawat jenazah Bapak (walau akhirnya dilakukan juga karena desakan pengurus kampung). Tak ada seorang pun yang mencap Mama sebagai anak durhaka. Seluruh warga kampung itu tahu bagaimana Bapak dulu memperlakukan Mama dan ibunya.
Sore ini, di lapangan perumahan yang sepi, lagi-lagi Sakhi menjumpai lelaki yang tengah meregang nyawa.
Bayangan lelaki yang sekarat itu menari-nari dalam benaknya. Sakhi tahu siapa dia. Sakhi tak mungkin salah mengenali lelaki itu.
Lelaki itu adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang menggandeng mesra pinggang Mbak Mimin.
Bibir lelaki itu adalah bibir yang sama dengan bibir yang menempel pada bibir tebal milik Mbak Mimin.
Tubuh kurus lelaki itu adalah tubuh yang sama dengan tubuh gagah yang dulu selalu mengenakan seragam coklat khas pegawai Kejaksaan.
Tangan lelaki itu adalah tangan yang sama dengan tangan yang menampar pipi Mama, ketika Mama bertanya mengapa? Mengapa Mbak Mimin?
Kaki lelaki itu adalah kaki yang sama yang menendang ulu hati Mama seraya membanting setumpuk pakaian. Lantas dengan teriakannya yang bagaikan halilintar mengoyak kedamaian langit, memerintahkan Mama dan Sakhi untuk keluar dari rumah. Rumah warisan Nenek, ibu Mama. Lima tahun yang lalu.
Nama lelaki itu adalah nama yang sama dengan nama lelaki yang sejak kecil selalu Sakhi panggil dengan sebutan “Papa”.


-selesai-
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)