Selasa, 29 April 2014

Exploring Bali

Rute #ExploringBali ala kami; 
Gilimanuk-Lovina-Bedugul-Denpasar-Kuta-Tanjung Benoa-Uluwatu Temple-Denpasar-Trunyan-Denpasar-Gilimanuk

Peta Bali plus rute #ExploringBali (garis ungu)


Yeay, akhirnya saya ke Bali...!!!!
Halah, biasa aja kali May, ngga usah heboh gitu, wong cuman ke Bali doang.

Wait, ke Bali nggak bisa dibilang cuma. It’s a tropical paradise bro...!!! Para traveler di belahan bumi mana pun kenal Bali (beberapa dari mereka malah nggak paham kalo Bali is part of Indonesia). So, bagaimana bisa saya yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Bali dan bahkan tidak perlu passport atau visa untuk menuju ke sana belum pernah mengunjungi Bali? Bali hanya berjarak 8-12 jam naik mobil plus ferry untuk membelah Selat Bali (12 jam jika ingin mencapai Denpasar dengan pantai Kutanya yang terkenal).

Saya  sudah mengangankan pergi ke Bali sejak masih ABG, namun belum pernah kesampaian karena banyak faktor, terutama waktu, biaya dan perginya sama siapa? Akhirnya, setelah menunggu selama sekitar 20 tahun, akhirnya Allah mengabulkan keinginan saya. Kami ke Bali selama 4 hari!!!

Tadinya seorang teman sekantor mengajak pergi ke Bali beramai-ramai. Sesuai prosedur operasional rumah tangga yang berlaku general di manapun, saya langsung minta ijin suami. Ternyata dia keberatan, alasannya tentu saja karena perginya dengan teman sekantor (padahal aslinya dia keberatan karena harus ngurusin anak selama saya nggak ada di rumah, haha...).

“Daripada pergi sama temen-temenmu, kan enak sama keluargamu?”, begitu jawabannya.

 “Habisnyaa...ngga pernah diajak...”, jawab saya setengah manyun setengah merajuk.

 “Oke, kita ke Bali. Kapan?”

“Serius!!!”, saya pun bersorak seperti anak kecil yang baru saja dapat mainan.

Jadilah, hal pertama yang  saya lakukan adalah mengunjungi Agoda dot com, mencari penginapan dengan harga terjangkau. Itu saya lakukan sebulan sebelum tanggal yang kami tentukan. Karena tanggal itu bertepatan dengan long weekend, maka kami tidak mau kesulitan mencari penginapan. The Next Tuban yang di alamatnya menyebutkan Kuta, Legian menjadi pilihan kami. Harga kamar yang harus dibayar adalah 200 ribu rupiah per malam (include pajak) dan kami langsung membookingnya selama 3 malam.

Tiga malam!!! Yes, suami setuju kami mencuri start sehari sebelum long weekend agar tidak terjebak macet di jalan dan di pelabuhan.

So, ini lah rute perjalanan kami selama di Bali, yang mungkin bisa jadi referensi untuk temen-temen yang juga mau menjelajah Bali (hanya dalam waktu 4 hari 3 malam).

Day 1, 17 April 2014
Kamis dini hari, 00.15, kami berangkat dari rumah. Anak-anak dipaksa berpisah dengan kasur spring bed, berganti dengan kasur busa tipis di mobil yang kursi tengahnya sudah diambil. Tak lama setelah berangkat, saya pun ikut tertidur di kursi paling belakang. Maklum, malam itu sebelum berangkat, saya nyaris tidak bisa istirahat saking excitednya.

Kamis Subuh, 05.00, berhenti sejenak untuk shalat Subuh di sebuah Masjid yang letaknya tepat menjelang hutan Baluran.

Kamis pagi, 06.00, tiba di pelabuhan Ferry, Ketapang dan langsung meluncur mulus masuk dalam Ferry. Lancar jaya tanpa macettt (Biaya 124 ribu rupiah)

Kamis pagi, jam 8 waktu Bali, mendarat dengan cantik di Gilimanuk. Jangan lupa siapkan KTP untuk orang dewasa karena ada pemeriksaan KTP di pintu keluar pelabuhan. Yang meriksa polisi lho. Konon itu mereka lakukan semenjak kejadian Bom Bali tahun 2002an silam. Ngemeng-ngemeng, apa jadinya jika kita masuk Bali tanpa bawa KTP? Well, it will cause you on trouble. Katanya sih bakal habis waktu 2 jam di kantor polisi untuk ditanya-tanya. So, pastikan KTP, bukan SIM yang dibawa, karena polisi tidak menerima SIM melainkan KTP. Setelah lepas dari pemeriksaan KTP, kami lanjut sarapan ayam betutu di warung bertajuk Men Tempeh (katanya sih warung ini yang terkenal enak ayam betutunya). Biaya 180 ribu (3 orang dewasa, 2 anak-anak). Mahal? Menurut saya iya untuk ukuran makan pagi. Tapi percaya deh, rasanya uenak. Sambalnya muantab! Kalau mau ngirit, bisa pesan 1 potong ayam betutu (basah 35 ribu atau goreng 40 ribu) untuk dimakan berdua (so nasinya pesan 2 porsi). Soalnya 1 porsi aja menurut saya udah banyak banget, belum lagi termasuk sayur plecingnya.

Ayam Betutu yang Sambelnya dan Pedesnya Super Ngangeni

Kamis, sekitar jam 9 WITA kayanya, kami tiba di Pantai Lovina, daerah Bululeng, Singaraja. Sewa perahu untuk hunting lumba-lumba. Biaya 60 ribu per orang, tapi kami hanya membayar 250 ribu (seharusnya 300 ribu) karena si Bapak berbaik hati ngasih diskon. Ternyata, begitu perahu mulai melaju mengarungi Laut Bali, baru kami tahu kalau atraksi lumba-lumba paling seru dinikmati kala Subuh (apalagi jika sedang bulan purnama). Saat itu, lumba-lumba yang keluar bisa ratusan jumlahnya dan kalau kita bisa berenang, kita bisa nyemplung di Laut Bali dan berenang bersama lumba-lumba yang lucu dan ramah. Dan untuk kasus kami, karena kami sudah termasuk siang nyampai Lovinanya, Bapak perahunya harus ekstra memicingkan mata sepanjang jalan demi mencari kawanan lumba-lumba. Kami sudah berlayar jauh ke tengah dan tidak ketemu satu pun sampai anak-anak mulai bosan. Akhirnya kami putuskan untuk kembali. Sudahlah tak mengapa, mungkin kami belum beruntung. Ternyata, saat perjalanan kembali, lumba-lumba yang tahu kalau kami pengen banget ketemu sama mereka berbaik hati muncul di permukaan, mempertontonkan kebolehan mereka meliukkan tubuh dan moncong lucu mereka. Alhamdulillahh...akhirnya ketemu jugaa... Ternyata ya, sesuatu itu, kalau diikhlaskan (dilepaskan) justru malah didapat lho-serius mode on- that was a very important lesson that day.

Nungguin Pak Perahu nyiapin perahu dibantu istrinya yang bule
 
Kamis siang, pasca hunting lumba-lumba, kami menuju  Bedugul yang searah dengan Denpasar. Nah, kali ini kami benar-benar sial, pemandangan danau Bedugul yang indah tak bisa kami nikmati karena hujan deras dan kabut tebal menutupi pandangan. Kami menanti sekitar sejam di dalam mobil tapi tampaknya kami tidak berjodoh dengan Bedugul hari itu. Tak mengapa lah, setidaknya mata kami sudah dimanjakan oleh pemandangan pegunungan indah yang berselimutkan kabut. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Denpasar.

Kamis sore, mulai masuk Denpasar. Macetttt....mungkin karena berbarengan dengan jam orang pulang kerja. Kami baru tiba di hotel sekitar pukul 7 atau 8 malam (saya lupa persisnya), itu pun setelah kesasar dua kali di jalan Legian yang luar biasa padatnya. By the way, berada di jalan Legian itu berasa ngga kaya di Indonesia, sebabnya sejauh mata memandang cuman bule-bule yang keliatan. Sepanjang jalan yang hanya selebar 4 meter itu tidak ada rumah pribadi, melainkan pertokoan, homestay, tempat pijat, tattoo, pub dan cafe. Semakin malam, jalan Legian justru tampak kian hidup. Dan...kayanya saya bisa memahami kenapa Amrozi dan kawan-kawan memilih tempat itu untuk jadi target operasi mereka.

Day 2, 18 April 2014
Jumat pagi, 06.30 waktu Bali, kami berangkat ke pantai Kuta yang letaknya hanya 5 menit naik mobil dari hotel. Karena masih pagi, masih mudah bagi kami mendapatkan tempat parkir tepat di pinggir pantai. Kalau udah agak siangan kayanya jangan harap deh. Dan jangan pula mas-mas jaga parkirnya mau berbaik hati mencarikan tempat parkir. Yang ada malah kitanya dicuekin. Kami menghabiskan beberapa jam di pantai paling ternama di Bali itu (dan kayanya juga masuk resort favorit internasional), bermain pasir, ombak, bahkan berendam di air laut hingga kulit gosong. Hehe... Sebenernya saya paling takut sama matahari karena merasa kulit saya gampang hitam dan susah kembali (agak) terang. Tapi saya pikir, di pantai yang sudah jauh-jauh saya datangi ini, saya harus all out. Biarin lah kulit saya menghitam, yang penting saya bisa menikmati keindahan pantai sekaligus menemani Jasmine yang kaliatannya tak ada capek-capeknya bergulung-gulung di pasir dan ombak laut. Di sini kami cuma mengeluarkan 3 ribu rupiah per orang untuk biaya mandi bilas air tawar. Sayangnya...saya nggak nemu tempat mandi yang tertutup. Shower yang ada tempatnya terbuka. Akhirnya saya hanya menyiram tubuh seadanya, berganti baju (kalau ini ada biliknya dan tertutup), terus saya minta untuk kembali ke hotel untuk mandi sesuai prosedur sebelum melanjutkan ke tempat wisata lain.

Beachplay at Kuta

Jumat, 9.30 waktu Bali, kami memutuskan untuk batal ke pantai Sanur, karena ada yang bilang pantai Sanur tidak terlalu istimewa. Tanjung Benoa menjadi tujuan selanjutnya karena kami ingin melihat penangkaran penyu. Dengan bantuan GPS, kami melewati jalan tol Nusa Dua yang baru, yang istimewanya, jalan tol ini dibangun melintasi wilayah perairan. Kerennnn...!!! Sebelum sampai di Tanjung Benoa, kami sempat bertanya-tanya untuk mencari lokasi yang kami cari. Kebetulan salah satu orang yang kami tanya menyewakan boat untuk mencapai penangkaran penyu. Jadilah kami mengikutinya yang ternyata menawarkan boat seharga 700 ribu!!! Beruntung suami sudah sempat bertanya ke beberapa temannya berapa fair price untuk boat ke penangkaran penyu. Setelah tawar menawar, harga yang disepakati adalah 400 ribu. Jadilah kami berangkat setelah sebelumnya terjadi kehebohan karena Kairo melarikan diri begitu tahu akan diajak naik perahu (lagi). Kebayang nggak betapa panik kami melihat dia berlari di pesisir pantai yang ramai seperti terminal itu. Tanjung Benoa memang pantai yang diperuntukkan untuk water sport (parasailing, banana boat, jet ski, etc). Jadi, pantainya penuh dengan boat dan kawan-kawan macam angkot yang lagi ngetem. Belum lagi tali-tali parasailing yang kapan saja bisa tertarik dan terangkat. Jadilah, sang penjaga pantai berteriak-teriak heboh dengan pengeras suara; “Pak, anaknya digendong Pak! Bahaya!!!”. Fiuuuhhhh....dan semua sumber kehebohan itu adalah anak kecil berumur 4 tahun bernama Kairo.

Boat 400 ribu itu membawa kami ke Deluang Sari, tempat penangkaran penyu. Oya, sebelumnya kami sempat mampir ke Coral Reef, tempat sarang ikan-ikan hias yang kami lempari roti tawar. Nah, balik ke Deluang Sari, di sana kami diminta sumbangan sekedarnya untuk biaya konservasi penyu dan hewan-hewan lain di Deluang Sari. Ternyata di sana tidak hanya ada penyu, melainkan juga kelelawar, ular, burung rangkok dan burung elang. Kami sempat berforo bersama hewan-hewan tersebut. Tapi yang paling seru adalah memberi makan penyu dengan rumput laut segar. Kami sampai balik dua kali ke kolam penyu demi bisa menikmati hewan bercangkang nan manis itu. 
They're so Lovely, Aren't They?

Feeding Turtle with Sea Grass (Mind Your Finger...)


Jumat jam 13, kami meninggalkan Tanjung Benoa. Makan siang dulu di depot masakan padang yang kami pilih karena menyediakan Musholla dan bertuliskan halal. Di Bali agak susah mencari tempat shalat soalnya. Setelah makan dan shalat, atas rekomendasi salah satu kawan, kami memutuskan ke Uluwatu. Rencananya sih ingin melihat sunset di sana.

Jumat jam 14.00, kami sampai di Uluwatu. Perjalanan ke Uluwatu ternyata melewati jalanan dengan pemandangan bertebing yang sangat memanjakan mata. Sekitar satu jam kami menghabiskan waktu dengan menikmati tebing batu yang letaknya pas di laut dalam. Uluwatu adalah ujung paling selatan Bali yang langsung berbatasan dengan Samudera Hindia. Subhanallah, pemandangannya sungguh tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Teman-teman Hindu yang bersembayang di Pura Uluwatu pastilah akan selalu mengingat sang Pencipta karena dihadapkan pada sebuah pemandangan yang agung. Samudra maha luas. Di sini, karena kami hendak memasuki tempat ibadah, kami diharuskan memakai pakaian yang sopan. Bagi yang mengenakan celana atau rok pendek, sudah disediakan selembar kain untuk dijadikan penutup. Sementara jika busananya sudah tertutup, kami hanya perlu mengenakan sabuk kain yang dililit di pinggang. Ketika menuju pura Uluwatu, sekawanan monyet liar akan muncul di jalan-jalan bak pagar ayu di acara kawinan. Itu sebabnya, petugas jaga di depan sudah menawari kami untuk membeli seplastik kecil rambutan untuk diberikan pada monyet. Oh ya, karena keberadaan monyet-monyet itu lah, wanita yang sedang haid tidak boleh masuk ke area pura karena mereka bisa mencium bau darah. Kami batal menikmati sunset karena hujan.  (Biaya masuk Pura Uluwatu, 55 ribu untuk 3 dewasa 2 anak-anak dan 10 ribu untuk 6 buah rambutan makanan monyet, belum termasuk retribusi di depan, saya lupa brapa, tapi ngga mahal kok)
Aksesoris Sebelum Masuk Pura Uluwatu

Pura Di Ujung Selatan Bali

Apa Yang Dipikirkan Sang Monyet Tatkala Menatap Samudra Hindia?

Jumat, jam 17.00, kami kembali ke hotel. Jasmine yang sepanjang jalan tampak tidak ada lelahnya bahkan masih sempat berenang di kolam renang hotel sebelum mandi. Setelah mandi, kami memutuskan untuk ke Beachwalk mall yang memungkinkan kami melihat pemandangan pantai Kuta di waktu malam. Kalau mau, ada satu spot yang diberi lampu sorot. So, kita juga bisa menikmati pasir dan air pantai di waktu malam (bukan berenang lho yaaa...).

Day 3, 19 April 2014
Sabtu pagi, kami hanya punya satu tujuan hari ini; Desa Trunyan, daerah Kintamani. Kabarnya tempat itu memiliki pemandangan alam yang cantik dengan suguhan tradisi purbakala yang masih dipertahankan hingga kini. 
Kebetulan saya dan suami memiliki pemikiran yang sama dalam menikmati wisata ke Bali kali ini, yakni kami mencari tempat-tempat yang tidak ada di Jawa. So, sempat terpikir untuk ke Bali Zoo di daerah Gianyar dan Water Bom di Denpasar. Tapi keduanya kami coret dari daftar karena kebun binatang dan waterboom sudah ada di Surabaya.  Dan dalam hal memilih Desa Trunyan, kami pun langsung mencapai mufakat tanpa berdebat.
Ada banyak jalan menuju Kintamani yang ditunjukkan GPS, kami memilih yang melewati Ubud karena kabarnya Ubud memiliki pemandangan alam yang indah. Ternyata benar saja, ada satu daerah yang memang diperuntukkan untuk foto-foto berlatar belakang sawah terasiring yang ciamik banget. Kami pun tak mau kalah dengan rombongan turis-turis bule yang berhenti sejanak mengabadikan kenangan di tempat itu.

Begitu berbelok dari pos retribusi, mata kami benar-benar dimanjakan dengan panorama gunung dan Danau Batur yang membuat bibir kami tak henti-hentinya berucap “Subhanallah”. Sungguh tak salah kami memilih ke Kintamani hari ini yang butuh sekitar 3 jam dari Denpasar (sudah termasuk berhenti sarapan di warung mie ayam).
Danau Batur


Setahu kami, untuk ke Trunyan kami harus naik boat. Salah satu polisi yang sempat kami tanya di tengah jalan malah menawarkan boat seharga 500 ribu (sepertinya di Bali banyak banget orang yang punya usaha persewaan boat?). Harga itu memang sesuai dengan informasi yang kami dapat dari internet. Ternyata, di sebuah pertigaan, kami melihat papan petunjuk yang bertuliskan “Ke Trunyan, naik boat (15 menit)” dan “Ke Trunyan, lewat darat (30 menit)”. Tentu saja kami memilih lewat darat (daripada bayar 500 ribu maksutnya). 
Setelah sekitar 10 menit menempuh perjalanan, seorang Beli yang naik sepeda motor menyapa kami. Dia tanya apakah kami hendak ke Trunyan. Dia bilang dia menyewakan perahu. Kami heran, katanya ada jalan darat. Ternyata, untuk ke Desa Trunyan memang ada jalan darat, tapi untuk bisa ke makam Trunyan harus naik perahu. Untuk lebih jelasnya, dia menyuruh kami mengikuti dia. Dan...untung saja ada dia, kalau tidak kami pasti nyasar dan ragu untuk melanjutkan perjalanan mengingat jalan darat menuju Desa Trunyan agak ekstrim. Tapi, pemandangannya pun ekstrim indahnya. Jalan itu pas menyusuri bibir danau. Bahkan kami sempat melewati jalan yang air danaunya meluber hingga ke jalan aspal dan pagar jalan sengaja dilepas. Jadinya kami merasa mobil kami berjalan di atas air danau.

Kini kami sudah berada di balik gunung dan pas di tepi danau Batur. Siapa sangka di tempat ini ternyata ada pemukiman.  Dan...siapa mengira, di desa terpencil yang sangat terjangkau sinyal ponsel ini terdapat kompleks pura yang menakjubkan? Puranya memang tidak tinggi menjulang, namun dibangun di area yang mungkin hampir sama luasnya dengan kompleks pemukiman penduduk.
Hidden Temple Behind A Mountain

Nah, begitu sampai, kami langsung parkir di sebuah lapangan badminton. Hanya kami satu-satunya turis yang nampak di tempat ini. Suami saya berbicara dengan si Beli. Tak lama dia kembali dan bilang harga perahunya 550 ribu.

Saya langsung bilang oke! Nggak masalah. Toh kita sudah jauh-jauh ke mari.

“Tapi bukan naik boat, melainkan itu...”, kata suami saya sambil telunjuknya mengarah ke sebuah dermaga.

What?! Sebuah perahu kayu yang catnya sudah mengelupas. Tampak ringkih. Tidak ada motor tempelnya yang berarti hanya akan jalan menggunakan dayung?

Oke sip. Adakah pilihan lain? Tak ada. Daripada berenang, akhirnya kami setuju naik perahu. Lagi-lagi Kairo bertingkah. Ia hendak melarikan diri demi melihat perahu yang siap membawa kami ke balik bukit, menuju makam Trunyan yang terkenal itu. Akhirnya setelah dibujuk, tampaknya Kairo pun tidak punya pilihan lain selain mengikuti kami semua yang sudah duduk manis di perahu. Daripada ditinggal di desa yang asing ini, begitu pasti mikirnya.

Ternyata...550 ribu is worthed!!! Sensasi menyusuri danau Batur dengan perahu dayung dengan bonus cerita-cerita dari Bapak pendayung (yang merupakan warga asli desa Trunyan) sungguh jauh berbeda dengan naik boat. Kalau naik boat dari dermaga, rutenya adalah membelah tengah danau Batur dengan kecepatan tinggi. Sementara dengan naik perahu dayung yang berjalan pelan seiring dengan semilir angin sepoi-sepoi, kami tidak hanya disuguhi pemandangan danau berlatar belakang gunung, namun juga bukit-bukit hijau yang seolah membungkus desa Trunyan dan segala misteri di dalamnya. Subhanallah....(Oh ya, kalau naik dari Desa Trunyan, uang sewa perahu akan jadi pemasukan desa, kalau naik boat lewat dermaga Kedasih uangnya akan masuk ke pengelola atau penyewa boat, macam polisi yang sebelumnya kami tanyai)

Akhirnya, sampailah kami di makam Trunyan, tempat masyarakat desa Trunyan menjaga adat purbakala nenek moyang mereka. Di tempat peristirahatan terakhir ini, jenazah hanya dibaringkan di tanah dengan hanya ditutupi kain sebatas leher. Tidak dikubur, tidak juga dimasukkan peti. Saat kami datang, ada jenazah yang baru berusia 2 minggu. Ajaibnya, tidak ada bau khas bangkai di sana. Menurut kepercayaan masyarakat, itu disebabkan karena adanya pohon Terumenyan yang berdiri kokoh tepat di tengah-tengah makam. Teru artinya kayu. Menyan artinya wangi. Dulu kayu pohon itu berbau wangi, tapi sekarang sudah saling netral dengan bau jenazah. So, sang jenazah tidak berbau busuk, wangi dari pohon Terumenyan pun juga sirna.


Hanya ada 11 jenazah yang boleh ditidurkan di makam Trunyan. Lantas, bagaimana jika ada jenazah ke 12? Berarti, jenazah-jenazah yang lama harus rela mengalah, tulang belulang mereka dibiarkan berserakan di sisi lain makam dan tengkoraknya disusun bersama puluhan tengkorak lain. Persyaratan lain bagi jenazah untuk bisa dimakamkan di sana adalah harus sudah berkeluarga (bayi, anak-anak dan bujangan tidak boleh) dan harus meninggal wajar (dibunuh, bunuh diri atau kecelakaan tidak boleh). Saya sempat tanya sejak kapan adat seperti ini ada. Jawabannya sejak dulu, mungkin sejak sebelum jaman Majapahit. Sejak jaman Bali mula (jaman awal-awal ada peradaban di Bali). Duh, ngga kebayang saya seperti apa ya saat-saat itu?
Yang jelas, berada di makam Trunyan, entah mengapa saya serasa sedang masuk dalam National Geographic. Ini bukan di Indonesia, pikir saya sedikit lebay. Hehe...

Tempat Peristirahatan Terakhir Desa Trunyan

Pohon Terumenyan

These belong to those who had alive years ago

Can you see the skull?

Ketika kami kembali ke Desa Trunyan, saya bertanya apakah boleh saya masuk ke dalam kompleks Pura? Ternyata tidak boleh. Pertama, karena di hari itu ada warga yang baru saja meninggal (tapi karena kecelakaan, jadi dimakamkan di tempat lain). Kedua, saya baru dari makam. Orang yang baru dari makam tidak boleh masuk ke Pura. Baiklah tak mengapa. Toh saya masih bisa mengagumi kompleks Pura itu dari luar plus berfoto-foto untuk kenangan akan sebuah desa berpenduduk 200 KK yang letaknya tersembunyi. Di tempat yang begitu eksotis. 

Pura di Desa Trunyan

Desa Trunyan (Terunyan)

Entah mengapa rasanya krasan sekali berada di Desa Trunyan. Hawanya yang sejuk, pemandangan yang oustanding plus hospitality masyarakat setempat membuat kami enggan pulang. Kalau saja tidak ingat perut kami sudah keroncongan minta diisi, mungkin kami masih akan berlama-lama di sana.
 
Trunyan's Hospitality
Dalam perjalanan pulang, masih di Kintamani, kami melewati restoran yang ramainya luar biasa, yang dibangun di bibir jurang, dan menghadap danau dan gunung Batur. Oh my, kami tergoda untuk makan di sana. Mumpung kami masih bisa menikmati pemandangan alam yang luar biasa, tak apa lah sekali-sekali makan di restoran. Masa dari datang di Bali makannya di warung terus. Lagipula, kayanya restoran ini tidak terlalu mahal melihat betapa ramainya pengunjung. Kami tak mengira, makan siang kali itu akan menjadi makan siang termahal...!!!!

Ternyata kami tidak salah. Restoran itu memang menawarkan pemandangan yang superrr. Dengan tempat makan di alam terbuka (boleh lesehan atau pakai kursi) yang menghadap persis ke arah danau dan gunung. Pantas saja yang datang ke restoran ini pada bule-bule. Oh no! Kalau bule, jangan-jangan harga makanannya...????

121 ribu per orang buffet all you can eat. Anak kecil setengah harga. Balita free!!

Itu sebabnya mengapa saya bilang itu jadi makan termahal kami selama di Bali.

But oke fine! Sudah kepalang basah. Lagipula, sayang rasanya melewatkan pemandangan yang menakjubkan ini. Akhirnya kami pun menikmati makan siang tanpa memusingkan harga makanan yang selangit (dan ngga worthed sama makanan yang disajikan). Tapi kami sadar kok, bukan hanya makanan yang dijual restoran ini, melainkan pemandangan dan lukisan kekuasaan Tuhan yang tiada duanya. Mahal? Memang, tapi lihatlah air danau yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Lihatlah awan dan kabut yang bergerak turun di kaki gunung. Lihatlah seekor burung yang entah apa namanya yang terbang melesat menoreh langit. Lihatlah kupu-kupu. Lihatlah langit dan gumpalan kapas putih yang bergulung-gulung. Lihatlah pelangi yang meliuk bak busur warna-warni di perut gunung. Dan...nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak engkau dustakan?
Teras di Bibir Jurang

Pelangiiiii...!!!!

“Oke guys, nanti malam kita beli martabak aja. Dan...besok pagi kita beli nasi bungkus depan pantai Kuta sebelum pulang. Itung-itung gantinya makan siang kita hari ini”, saya memberi pengumuman begitu kami sudah dalam perjalanan kembali ke Denpasar. Haha...

Sabtu malam, kami mampir ke Erlangga 2 untuk beli oleh-oleh. Saya sarankan beli oleh-olehnya di situ aja. Sila pilih Erlangga 2 atau Krishna yang letaknya bersebelahan. Semua tersedia; makanan khas, daster, tas, souvenir, baju anak-anak, kaos, taplak, kain bali,etc. Dan...semuanya harga pas dan sangat reasonable. Untuk orang yang ngga bisa nawar macam saya, tempat seperti itu sangatlah menolong. Cuma, jujur saya ngga begitu all out belanjanya. Pertama karena saya sendiri ngga gitu hobi belanja (cuman beli oleh-oleh sekedarnya untuk teman dan keluarga). Kedua, sukma saya sudah tinggal separuh karena sudah tersedot excitement di Trunyan tadi siang. Ketiga, saya kan kudu belanja sambil ngawasin dua krucil yang tingkahnya macam macan lepas kandang karena beberapa jam dikekep dalam mobil (Kairo sempet ilang malahan, keselip di antara rak-rak celana pantai. Fiuuuhhh!!!)

Day 4, 20 April 2014
Minggu pagi, jam 06.30, kami check out. Dan sesuai pengumuman saya di hari sebelumnya, kami akan sarapan sambil lesehan di pantai Kuta dan menunya nasi bungkus. Murah man, ngga sampai 10 ribu, yang jual orang Jawa pisan. Jadi tastenya oke sip!

Sebelum meninggalkan Denpasar, kami sempatkan mengunjungi Ground Zero sambil membayangkan betapa ngerinya malam pengeboman Paddy’s Cafe dan Sari Club tahun 2002 silam. Hingar bingar house music yang berdentam-dentam berubah menjadi jeritan kesakitan dan ketakutan. Bau alkohol dan daging barbeque berubah menjadi bau darah dan daging manusia yang terbakar. Cahaya yang berasal dari lampu-lampu cafe berubah menjadi kobaran api. Masya Allah... Duhai Allah, mohon ampuni dosa-dosa kami....

Ground Zero, where the tragedy happened :'(

Minggu, pukul 11 siang, lagi-lagi kami mampir ke Men Tempeh demi menikmati ayam betutu yang walau mahal tapi ngangeni. Hehe...
Pukul 12 siang waktu Gilimanuk, lagi-lagi kami langsung dapat ferry. Alhamdulillah ngga pake antri.

Pukul 13 siang waktu Ketapang, kami tiba di pulau Jawa lagi.

Pukul 3 sore, berhenti sejenak untuk nyeruput es kelapa muda di Pantai Pasir Putih Situbondo.

Pukul 19.30 malam, Alhamdulillah...home sweet home.
Terima kasih Allah atas karuniaMu dan penjagaanMu selama kami dalam perjalanan.
Terima kasih Papa Hari, atas liburan yang menyenangkan (walau kayanya biaya selama perjalanan lebih banyak keluar dari dompet Mama Maya, haha....)

Catatan tambahan;
Next time kalau ke Bali lagi, saya pinginnya;
1.       Naik pesawat biar ngga cape di jalan (berarti kudu nabung lebih banyak)
2.       Nyampe Lovina di waktu Subuh biar bisa renang sama lumba-lumba.
3.       Nunggu anak-anak agak besar biar bisa naik Banana Boat di Benoa.
4.       Nonton pertunjukan seni (Ramayana) di GWK. Kabarnya pertunjukan dimulai jam 6 sore.
5.       Snorkling atau surfing (I will be the first surfing lady with hijab, hahai....!!!)
6.       Liat sunset atau sunrise di pantai, ngga harus Kuta sih.
7.       Booking hotel di beberapa kota biar ngga kudu bolak-balik ke Denpasar.
8.       Ngga melancong saat musim hujan, biar bisa main-main di Bedugul atau petik-petik Strawberry.
9.       Bawa ayam betutu pulang untuk oleh-oleh.

Selasa, 22 April 2014

Anak-Anak Ayam



Cerpen ini ditulis dalam rangka belajar bikin cerpen gaya koran Minggu dan rencananya mau diikutkan seleksi cerpen pilihan UNSA 2014. Happy reading ^-^
Anak-Anak Ayam



Dulu ibuku sering bercerita tentang surga. Dia bilang, surga adalah tempat yang sangat mempesona hingga tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sungai-sungai yang airnya sebening kaca (bahkan katanya ada pula yang dialiri susu), pepohonan yang rindang, juga padang bunga yang luar biasa cantik. Kata ibu, di sana kita bisa dapatkan apa pun yang kita mau. Tinggal membatin dalam hati, misalnya “aku ingin jeruk”, maka cling!, jeruk nan segar dan manis sudah tersedia bahkan sebelum mata sempat berkedip. Pokoknya, masih menurut ibu, di surga itu enak, tidak ada sakit, tidak ada sedih, tidak ada lapar.
Ayahku juga sering bercerita tentang surga, walaupun tidak sesering ibu karena ia harus bekerja dari pagi hingga sore. Katanya, surga hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang baik. Di sana tidak ada orang jahat, melainkan bidadari-bidadari yang cantik dan anggun. Sayangnya ayah keburu meninggal sebelum sempat mengatakan bagaimana caranya agar bisa menjadi bidadari penghuni surga.
Dan sepeninggal ayah, ibu pun berhenti bercerita.
Lambat laun, gambaran surga di kepalaku memudar, tergerus aneka tragedi pasca ayah tiada. Hingga suatu hari, aku menemukan tempat yang membuatku ingat akan cerita masa kecilku dulu.
Tempat yang kumaksud ini memang tidak persis sama dengan cerita ibu. Di sini mengalir sungai, tapi airnya coklat dengan akumulasi sampah di sana-sini. Di waktu-waktu tertentu, sungai ini memancarkan bau yang menyengat. Di sini tidak ada pohon-pohon yang rindang melainkan deretan bangunan semi permanen yang dibangun seadanya. Tidak ada padang bunga yang mempesona melainkan tumpukan kaleng dan plastik bekas karena sebagian besar penduduk di sini bekerja sebagai pemulung.
Tapi seandainya ibu masih hidup, aku akan ceritakan padanya betapa tempat ini membuatku nyaman walaupun jika aku mengangankan sesuatu, tidak lantas cling!, sesuatu itu langsung tersedia di depan mata. Perasaan betah dan bahagia menyesaki seluruh pori-pori kulit dan pembuluh darahku ketika aku sedang berada di kompleks pemulung ini. Di tempat ini aku tak pernah merasakan sakit, perih, apalagi sedih. Duhai Ibu, seperti ini kah rasanya di surga?
Silahkan tertawa, atau tersenyum juga boleh. Kalian pasti berpikir aku aneh karena menganggap deretan bangunan semi permanen di bantaran Kali Mas ini adalah surga. Aku maklum jika kalian tidak mengerti jalan pikiranku, sebab kalian memang tidak menjalani hidup seperti aku.
Tadinya aku juga seperti kalian. Hidupku sempurna. Lahir dari pasangan suami istri yang saling mencintai. Aku memiliki ayah yang bertanggung jawab, juga ibu yang dengan kecintaannya mengurus kami berdua. Kami bertiga hidup bahagia walaupun sederhana. Tapi kecelakaan kerja yang dialami ayah merenggut segalanya. Kejadian yang mengantarkan tulang punggung keluarga kami ke alam baka itu adalah titik pangkal menghilangnya kata “pilihan” dalam kamus kehidupan kami.
“Assalammualaikuuummm....!!!”, suara sapaan ceria menghentikan lamunanku.
“Walaikumsalaammm...!”, sahutku tak kalah ceria. Senyumku mengembang menyambut anak-anak yang berbondong-bondong mendatangi Musholla tempatku menunggu sejak sebelum adzan Ashar berkumandang. Tubuh mereka bau sabun. Beberapa dari mereka bedaknya tampak coreng moreng. “Yang belum cuci kaki, tidak boleh masuk”, lanjutku sambil memperhatikan kaki-kaki kurus mereka.
Beberapa anak yang merasa belum cuci kaki urung memasuki Musholla. Dengan wajah malu-malu, mereka menuju tempat wudhu untuk mencuci kaki terlebih dulu. Tak lama kemudian, tak kurang dari selusin anak-anak sudah duduk di hadapanku. Senyum merekah di wajah polos mereka, wajah mereka antusias seperti menunggu seorang tukang sulap mengayunkan tongkatnya.
“Jadi, siapa yang sudah mengerjakan PR?”, tanyaku.
Mereka beramai-ramai mengangkat tangan. Teriakan “Saya Kak!” bersahut-sahutan.
“Sip...yang sudah mengerjakan PR nanti boleh mendengarkan Kakak mendongeng. Agil sudah mengerjakan PR?”, tanyaku pada seorang bocah sembilan tahunan yang sedari tadi duduk diam di pojokan. Matanya yang sebening telaga menatapku sayu. Ia mengangguk pelan.
Aku mengacungkan dua ibu jariku ke arahnya. “Nah, sekarang kita mau belajar apa dulu? Matematika? Ilmu Alam? Bahasa?”
Lagi-lagi suara celotehan anak-anak terdengar bersahutan. Musholla mungil ini jadi seperti kandang ayam yang riuh rendah oleh suara ceriap anak-anak ayam yang mengerubungi induknya. “Matematika Kak”. “Jangan, Bahasa Inggris saja dulu”. “Aku mau pelajaran Penjas[1] saja Kak”.
“Oke-oke...satu-satu yaaa!!!”, aku menyesal telah bertanya. Seharusnya aku tahu, pertanyaanku tadi pasti mengundang keributan karena mereka pasti berebut untuk belajar mata pelajaran yang mereka sukai.
Sejam kemudian, Musholla mungil ini mulai hening. Hanya terdengar bisik-bisik di sana-sini. Anak-anak ini mulai asyik menekuni pelajarannya. Ada yang mengerjakan PR, membaca, menggambar, ada juga yang asyik berdiskusi dengan seorang mahasiswi tingkat akhir yang selalu menghabiskan waktu sorenya di Musholla ini. Ya, mahasiswi itu tak lain adalah aku.
Panjang ceritanya bagaimana kira-kira setahun yang lalu aku bisa berada di sini, tapi itu sama sekali tidak penting untuk diceritakan. Yang penting, aku merasa sangat berterima kasih pada Pak Mulyadi, ketua RT di sini yang memperbolehkan kami belajar di Musholla tiap sore. Berkat beliau, aku bisa membantu anak-anak ini mengerjakan PR, mengajari beberapa pelajaran sekolah yang belum mereka mengerti serta mendongeng sesekali. Di Musholla mungil ini, tiap sore aku tak ubahnya menjadi induk ayam yang dikelilingi anak-anaknya. Tidakkah itu terdengar menyenangkan?
“Jadi, apa saja empat sehat lima sempurna itu?”, tanyaku pada Aziza, bocah berkulit coklat matang dan berambut merah. Dia baru kelas tiga SD.
“Ngg...karbohidrat, lauk pauk, buah, sayur dan...susu”
“Iya betul”
“Berarti aku belum makan 4 sehat 5 sempurna Kak. Soalnya di rumah tidak ada susu. Adanya kopi. Ayah suka minum kopi”
Kopi? Kata itu seolah menguak kenangan lama yang memilukan, tepat setelah meninggalnya ayah.
Kepergian ayah seharusnya tidak menjadi musibah yang mengancam kelangsungan hidupku dan ibu, karena kami menerima uang asuransi jiwa yang cukup lumayan. Setidaknya lumayan untuk ibu bisa membuka warung kecil-kecilan agar kami tetap bertahan hidup. Tapi ternyata, kota ini bisa lebih kejam ketimbang hutan rimba.
Ibu ditipu. Seseorang mengatakan padanya jika uangnya diinvestasikan, maka setiap bulan ibu akan menerima sekian dan sekian. Seharusnya ibu tahu, sesuatu yang too good to be true itu harus dipikir ulang. Namun ibu kepepet. Saat itu dia sendiri sedang hamil dan aku masih sangat kecil. Ibu tak punya keahlian apa-apa kecuali mengurus rumah dan memasak. Wajar jika tawaran orang itu akhirnya membuat ibu berpikir pendek.
Akhirnya ibu memutuskan untuk menyerahkan seluruh uang pesangon dan asuransi jiwa ayah. Dan tentu saja, seperti yang bisa kalian duga, uang sekian dan sekian yang dijanjikan tak pernah muncul bersamaan dengan raibnya orang yang tega menipu Ibu.
Ibu stress. Dia keguguran. Bersamaan dengan itu, kesehatannya menurun. Ibu menyambung hidup kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju tetangga. Tahu sendiri kan berapa upah buruh cuci? Pastinya tidak sebanding dengan biaya hidup di kota Metropolitan yang terus melambung seiring berjalannya waktu.
Ibu berhutang. Gali lubang tutup lubang. Demikian terus hingga aku beranjak remaja. Ibu mulai sakit-sakitan. Tapi tekad Ibu dan tekadku sama. Aku tidak boleh putus sekolah. Ibu tahu, hanya sekolah dan pendidikan lah harapan untuk bisa mengubah hidup kami. Tapi apa daya? Uang sekolahku menunggak. Bersamaan dengan itu, Ibu yang sudah menanggung derita sekian lama akhirnya benar-benar drop. Ia tak lagi bisa beraktivitas layaknya orang normal.
Tak ada jalan lain. Aku harus bekerja. Jika tidak, aku terpaksa putus sekolah dan tak bisa membeli obat untuk ibu. Tapi di usia yang sedemikian belia, aku bingung harus bekerja apa. Saat itulah seorang tetangga menawariku sebuah pekerjaan. Menjadi pramusaji di sebuah warung kopi. Aku menyanggupi dengan senang hati tentu saja. Sebagai ABG berumur 16 tahun, aku tidak melihat pilihan lain selain yang ditawarkan tetanggaku. Ternyata, warung kopi itu bukan warung kopi biasa, melainkan warung kopi remang-remang. Dan aku bukan pramusaji kopi biasa, melainkan pramusaji kopi pangku!
Kopi pangku. Tidakkah frasa itu terdengar lucu? Sebenarnya jenis kopi yang disajikan di warung ini biasa saja. Hanya cara menyajikannya yang tidak biasa. Aku harus mengaduk kopi sambil duduk di pangkuan para tamu, yang semuanya laki-laki tentu. Sambil duduk itu lah, mereka bebas menggerayangi bagian-bagian tubuhku. Di suatu malam, kira-kira setelah setahun lamanya aku bekerja di sana, salah satu tamu mengajakku masuk ke dalam sebuah bilik yang hanya ditutup tirai. Di sanalah semuanya bermula, ketika aku mulai beranggapan bumi yang kupijak ini adalah neraka.
Ya, untuk satu hal ini, aku tidak akan pernah melupakan cerita ibu. Ibu bilang, neraka adalah tempat di mana kita disiksa, disakiti, dicabik-cabik. Neraka adalah tempat bagi mereka yang banyak berbuat dosa. Dan aku adalah orang pertama yang memastikan bahwa cerita ibu memang benar.
Tapi seperti yang kubilang, aku tidak punya pilihan lain selain terus melakoni hidup bertabur dosa semacam ini. Kenyataannya, aku bisa terus sekolah dan membeli obat yang bisa sedikit memperpanjang umur ibu. Semua itu karena aku bertahan di neraka bertajuk warung kopi pangku, sebuah tempat prostitusi terselubung di pinggiran selatan kota Surabaya. Tak ada yang tahu jika tiap malam aku menjerit tanpa suara, menahan dera yang menyiksa tidak hanya ragaku, tapi juga batinku.
“Kakaaak...Agil pingsan...!!!”, jerit beberapa anak mengoyak lamunanku. Aku terpekik cemas melihat tubuh Agil yang kurus sudah terbaring telentang di lantai dengan wajah pucat seperti mayat.
“Agil! Masya Allah..!!!”, tubuh Agil panas luar biasa. Damn! Seharusnya aku sadar, diamnya anak yang memang pendiam itu hari ini berbeda dengan biasanya. Segumpal rasa bersalah menyesakkan dada. Kenapa aku tidak menyadarinya sejak tadi, bahwa bibir Agil tidak lagi berwarna merah muda melainkan mengarah ke ungu? Kenapa aku tadi tidak menyempatkan diri untuk meraba dahi dan mengelus kepalanya seperti yang biasa kulakukan?
Dengan sigap, aku segera membopong tubuh mungil Agil dan memasukkannya ke dalam Honda Jazz metalikku. Tak sampai lima belas menit, tubuh mungil Agil sudah berpindah di ruang Unit Gawat Darurat. Dokter dan tenaga medis di sana segera menangani Agil tanpa prosedur berbelit-belit.
Tes darah. Agil terinfeksi Salmonella typhosa. Kata dokter, Agil harus diopname. Aku langsung setuju. Agil tak mungkin dirawat di kompleks bangunan semi permanen di bantaran Kali Mas. Bukan apa-apa. Aku tahu, di rumahnya tidak ada bapak dan ibu. Nyawa bapaknya berakhir di tangan massa karena mencuri sepeda motor di kampung sebelah. Ibunya sedang dipenjara karena ketahuan mengutil beberapa potong pakaian di sebuah Departemen Store. Agil dititipkan di tetangga yang mengasuhnya sekenanya. Bukan karena tak suka, tapi karena keterbatasan penghasilan yang sulit dibagi dengan anak-anak kandung sang tetangga yang jumlahnya cukup berbilang. Tak mungkin menyerahkan perawatan Agil yang sedang terkena tipus pada keluarga yang waktunya sudah habis dipakai mengais beberapa puluh ribu rupiah tiap hari. Di rumah sakit ini, perawatan Agil akan lebih terjamin.
Aku memberikan sejumlah uang pada rumah sakit sebagai jaminan agar Agil mendapat perawatan kelas satu. “Saya akan tanggung semua biayanya”, pesanku pada bagian administrasi.
“Maaf, Mbak ini apanya pasien?”, tanya petugas administrasi yang tak bisa menahan rasa ingin tahunya, bagaimana anak kecil berpakaian lusuh itu bisa bersamaku yang jelas-jelas bukan saudara atau orang tuanya.
“Saya gurunya”, jawabku singkat. Bahasa tubuhku menunjukkan aku tidak ingin ditanya-tanya lebih jauh. Dia pun tersenyum dan mengangguk sambil mengetikkan sesuatu di komputer. Mencetak sesuatu dan memberikan hasil cetaknya padaku.
“Silahkan Mbak. Kamar Adik Agil sudah siap”, katanya masih dengan senyum ramah yang tidak dibuat-buat. Aku bertanya-tanya dalam hati, masih bisa kah dia tersenyum semanis itu seandainya yang mengantar Agil ke rumah sakit ini adalah Bu Hindun, sang tetangga beranak lima yang dititipi untuk mengasuh Agil?
Tak lama kemudian, Agil sudah di kamar perawatan. Selang infus sudah terpasang, mengalirkan cairan yang perlahan mengembalikan rona kehidupan di wajah pucatnya. Dia tersenyum lemah.
Percayalah, siapa pun yang melihat Agil saat itu, pasti ingin rasanya berbaring di sebelahnya dan memeluknya. Aku hampir saja melakukan itu, berbaring di sebelahnya, jika saja ponselku tidak bergetar. Sebuah pesan Whatsapp.
Kamu tidak lupa janji kita malam ini kan?. Dari Andre.
Duh! Aku lupa kalau ada janji.
“Kakak pergi dulu ya. Jangan khawatir, ada kakak-kakak suster yang jagain Agil. Nanti Kakak kembali lagi”, bisikku lembut sambil mengusap anak-anak rambutnya.
Lewat tengah malam di hari yang sama, selepas bertemu Andre, aku kembali ke rumah sakit demi menepati janjiku pada Agil dan melakukan hal yang tadi sempat tertunda; memeluk salah satu anak ayamku yang bermata telaga.
“Kakak...terima kasih ya”, bisik Agil ketika dia merasa tubuhnya kudekap. “Kakak...seperti Ibu Bidadari...”
Bidadari? Agil bilang Bidadari? Bukankah Bidadari adalah penghuni surga seperti yang dulu pernah dibilang ayah?
Air mataku menetes. Aku terisak tanpa suara seperti dulu aku juga sering menjerit tanpa suara ketika menghabiskan malam-malamku di warung kopi pangku.
Aku bukan Bidadari. Seandainya Agil tahu apa yang pernah dilakukan perempuan yang dia sebut Bidadari ini di masa lalu. Seandainya dia tahu bahwa aku sama sekali tidak memenuhi separuh saja dari kualifikasi para penghuni surga, masihkah dia menyebutku Ibu Bidadari?
---
Beberapa hari kemudian Agil sudah diijinkan pulang. Kehidupan kami pun berjalan normal. Tiap sore seusai kuliah, aku kembali menanti mereka di Musholla mungil ini untuk belajar bersama.
“Sampai ketemu besok ya....”, pamitku sambil melambai pada ayam-ayam kecilku. Agil juga ikut melambai. Ia masih pendiam seperti sebelumnya. Tapi setidaknya sekarang dia sudah tidak pucat lagi. Lihatlah pipinya yang kemerahan dan bibirnya yang merona.
Langit malam sudah benar-benar menelan sisa-sisa cahaya sang surya. Aku memacu Honda Jazzku membelah jantung kota Surabaya, menuju sebuah kafe yang sudah dipenuhi musik yang berdentam-dentam. Ini malam minggu. Tempat ini sungguh ramai. Tapi aneh, di tempat seramai ini, aku justru merasa sangat sendiri.
Minumanku baru saja diantar ketika aku merasa seseorang menyentuh bahuku.
“Aduh, kenapa kamu pakai baju seperti ini sayang? Tapi tak apa lah. Kamu tetap kelihatan aduhai kok”, ujar pria berusia empat puluhan yang langsung mengecup sudut bibirku.
“Saya baru dari kampus Pak. Lupa bawa baju ganti”, jawabku pendek-pendek. Setengah mati kupaksakan tersenyum.
“Sudah kubilang jangan panggil Pak. Panggil Mas saja”, balasnya genit. “Saya sudah bilang tak mengapa. Lagi pula, yang saya mau adalah obrolan asyik sama kamu dan itumu”, pandangannya mengarah pada dua pahaku yang berbalut celana jeans. Memuakkan.
“Saya sudah booking kamar hotel terbaik di kota ini. Tahukah kamu kalau saya sudah lama menunggu hari ini? Saya kangen sekali sama kamu. Ngobrol sama kamu jauh lebih mengasyikkan ketimbang ngobrol sama kolega-kolega saya. By the way, kamu susah sekali dihubungi akhir-akhir ini. Semoga saja karena sibuk kuliah ya. Kalau tidak, saya bisa benar-benar cemburu nih”, cerocosnya.
Aku hanya mengulum senyum. Seandainya saja dia tahu, beberapa hari terakhir aku sudah bermaksud menghilang. Meninggalkan kehidupan malam yang sudah sejak remaja kulakoni, mulai dari warung remang-remang sebagai pramusaji kopi pangku dan kini menjadi ayam kampus!
Hidupku memang berubah. Tidak lagi bekerja di warung kopi pangku, melainkan di night club berkelas. Tidak lagi mengais beberapa lembar uang puluhan ribu dari bilik sempit yang hanya ditutup tirai, melainkan di kamar-kamar mewah hotel berbintang yang kemudian diakhiri dengan seamplop gemuk uang ratusan ribu.
Sebagai ayam kampus, penghasilanku berkali-kali lipat dibanding saat hanya menjadi pramusaji di warung kopi. Pelangganku juga bukan orang-orang kebanyakan. Andre adalah owner perusahaan konsultan. Sementara yang saat ini bersamaku adalah Heru, salah satu anggota dewan yang terhormat. Mereka dan sederet nama pria lainnya sama-sama senang mencari kehangatan di dada kupu-kupu malam sepertiku.
Sungguh, berkali-kali aku berpikiran untuk berhenti. Tapi berkali-kali juga aku memikirkan mereka, anak-anak yang kutemui di Musholla tiap sore. Anak-anak kaum marjinal yang tak pernah tersentuh program sekolah murah apalagi pendidikan gratis di kota besar yang sekilas tampak megah dengan gedung-gedung bertingkatnya. Kota besar yang sepintas menawarkan kemudahan menjalani hidup tapi nyatanya bisa lebih menyiksa daripada hidup di desa terpencil.
Jangan tanyakan padaku soal dosa dan neraka. Aku sudah sangat memahami keduanya sejak masih remaja. Itu lah yang membuatku berkali-kali ingin berhenti. Namun di saat yang sama aku ingin berhenti, aku teringat akan kelangsungan sekolah mereka. Jika aku berhenti siapa yang membiayai sekolah mereka? Jika tak ada yang membiayai mereka sekolah, mereka akan sama seperti aku dulu, hidup tanpa punya banyak pilihan dan terjungkal dalam neraka dunia. 
Malam ini aku memantapkan hati. Aku tidak bisa berhenti. Mungkin nanti, tapi yang jelas tidak sekarang.
Aku membiarkan Heru merengkuh bahuku, membimbingku masuk ke dalam mobilnya yang akan membawa kami ke hotel berbintang, tempat kami menghabiskan sisa malam ini. Dari kejauhan, aku bisa melihat gemerlap lampu hotel berbintang yang bagiku tak lebih dari sebuah neraka, tempat aku disiksa, disakiti dan dicabik-cabik. Tempat yang bagiku adalah satu-satunya pilihan agar kelak anak-anak ayamku tidak tumbuh menjadi ayam sepertiku.


-selesai-


[1] Pendidikan Jasmani
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)