Rabu, 29 Mei 2013

Bisik Pada Angin




Dengan hanya melihat sinar matamu atau mendengar suaramu, sebenarnya aku sudah tahu. Aku tahu kamu sangat mengharapkan kalimat itu meluncur mulus dari bibirku. Bahkan kamu tak perlu berkata-kata, aku sudah paham betapa kamu ingin aku mengucapkannya bak film-film roman yang kerap membuat bahumu terguncang-guncang bercampur sedu sedan. Tanpa kamu bicara, aku sudah tahu dari air mata yang kerap kau teteskan tanpa sepengetahuanku. Betapa inginnya kamu diperlakukan sewajarnya seorang pasangan hidup, dihujani kalimat-kalimat sederhana itu, setidaknya satu kali saja. Aku bisa merasakannya, lewat kekecewaan yang terekam melalui pundakmu yang turun beberapa derajat. Seakan kalimat-kalimat itu laksana sihir yang sanggup meluruskan kedua pundakmu kembali.

Kalimat itu sederhana sebenarnya, tapi aku bersikeras tidak pernah mengatakannya padamu. Dan hari ini kamu bertanya padaku, mengapa aku tidak pernah berkata; “Aku cinta kamu” atau “Aku rindu kamu” ?

Aku tersenyum pahit mendengarnya. Hanya kalimat-kalimat itu. Sederhana. Mengucapkannya tidak membutuhkan nafas yang terlalu panjang, tidak memerlukan energi sebanyak seorang David Beckham berlarian mengejar bola. Tapi toh kenyataannya aku tak pernah memanfaatkan artikulasiku untuk memproduksi kedua kalimat itu, mulai dari kita berjumpa, hingga saat kita tak lagi berdua, melainkan berempat.

“Kenapa?”, untuk kesekian kalinya kamu bertanya. Tampaknya malam ini aku tak lagi sanggup menghindar untuk tidak menjawab. 

Alasannya sedikit rumit, tapi baiklah, akan kucoba menyederhanakannya, dengan kalimat yang sama sederhananya dengan dua mantra sihir yang selalu ingin kau dengar. “Karena kalimat-kalimat itu bukan untukmu”, jawabku.

Sinar matamu meredup secepat ia membulat, pertanda kaget dan kecewa yang melebur. Jangan...jangan terburu bersedih atau menangis. Sungguh aku tak tahan melihat matamu yang sembab atau bahumu yang melorot. Sebab keduanya akan menular padaku, walau dengan alasan yang berbeda. Sayangnya, aku tidak bisa sepertimu yang dengan mudah mengekspresikan perasaan. Wajar, karena kamu perempuan dan aku laki-laki.

Isak yang setengah mati kau tahan akhirnya meledak dalam bentuk dua bulir air mata. Aku menghela nafas. Baiklah, jika kamu benar-benar ingin mendengarkan alasan yang sebenarnya. Namun alasan itu sedemikian rumit hingga aku sendiri membutuhkan latihan yang sangat lama untuk mengatakannya padamu.

Kau tahu masa laluku bukan? Lebih tepatnya masa kecilku? Aku seharusnya sudah menceritakan padamu bahwa Bapakku menghilang entah ke mana, meninggalkan seorang perempuan yang selalu kusebut Ibu dan lima orang anak yang masih belum dewasa, termasuk aku si anak sulung. Kamu hanya diam sambil meraih selembar tissue.

Seharusnya aku juga sudah bercerita padamu bahwa untuk menyambung hidup kami berenam, Ibu harus bekerja. Karena saat itu, ia lah satu-satunya harapan kami tetap bisa berdiri dan bernafas. Bekerja siang saja tidak cukup, malam hari pun digunakan Ibu untuk mengorek rejeki yang jumlahnya tidak sebanding dengan pengorbanannya. Kamu masih diam.

Cerita ini mungkin sudah kau dengar ratusan kali. Pengorbanan terbesar Ibu adalah meninggalkan anak-anaknya di rumah sementara ia bekerja. Seperti robot yang ditekan salah satu tombolnya, secara otomatis aku bermetamorfosis menjadi Ibu. Lebih tepatnya, menggantikan peran Ibu untuk menjaga adik-adikku. Aku melihatmu mengangguk dengan dahi mengerut samar. Kamu sedang berusaha mencari benang merah yang menghubungkan masa kecilku dengan dua kalimat sihir yang tak pernah terucap.

Sudahkah kuceritakan padamu bagaimana perasaanku yang masih sangat belia saat itu? Ketidakadilan. Sementara anak-anak yang lain asyik bermain atau belajar, aku harus memasak, menyuapi dan memandikan adik-adikku, membersihkan rumah bahkan berbelanja. Sementara anak-anak yang lain bisa menikmati susu, nasi dan ayam goreng, kami harus puas dengan ketela rebus, tempe dan semangkuk sayur daun talas yang tumbuh liar. Aku merasa Tuhan tidak adil dan dengan alasan itu aku mulai membenciNya.

Bagian ini mungkin tidak pernah kuceritakan padamu. Aku tumbuh bersama rasa benciku pada Tuhan. Volume tulang dan ototku bertambah seiring dengan bertambahnya kebencianku. Hingga ketika masa pertumbuhanku berhenti, saat itulah titik puncak kebencianku pada Tuhan berada. Tapi di sana, di titik kulminasi kebencian itu, perlahan aku menyadari sesuatu. Bapak memang menghilang dan Ibu harus bekerja di luar rumah, tapi toh nyatanya kami tetap hidup. Kami tidak hanya bisa bernafas dan berdiri, tapi juga bergerak; berkenalan dengan alam semesta. Walaupun dalam keterbatasan, kami masih tetap bisa tumbuh dewasa. Aku membeku saat menemukan jawaban atas pertanyaan ini; Siapa yang mencukupkan keterbatasan yang sangat terbatas ini hingga kami bisa terus hidup? Bukan hanya hidup yang sekedar hidup seperti bebek? Aku menangis semalaman hingga mataku membengkak dan dadaku sesak begitu menyadari jawabannya. Tuhan. Ia-lah yang selama ini kubenci sebenci-bencinya. Ia-lah yang selama ini kuanggap memberikan penghidupan yang tidak adil. Aku membenciNya, tapi sebaliknya Ia tidak membenciku.

Aku melihat sorot tidak percaya dari matamu. Melihat aku yang sekarang, memang sulit dipercaya bahwa aku pernah membenci Tuhan, yang ternyata membalas kebencian itu dengan limpahan kasih sayang.

Ia mencukupkan seiris tempe menjadi zat pembangun agar kami tumbuh besar seiring waktu. Ia mencukupkan sepiring ketela rebus yang kami makan ramai-ramai menjadi energi untuk menjalani hari. Ia mencukupkan semangkuk sayur daun talas menjadi perisai dari serbuan virus dan bakteri hingga kami tak mudah sakit. Ketika kusadari itu semua, hatiku seperti sebuah bahtera yang digulung ombak laut. Berbalik arah dari kebencian tiada tara menjadi rasa bersalah yang menyiksa, dan kemudian bermutasi menjadi rasa takut ditinggalkan. Kebencianku telah berubah menjadi cinta yang membara, cinta yang buta. Saat itu, aku menyadari bahwa hanya Dialah satu-satunya kesejatian, dan dengan segenap kesadaranku, Dia segera mendapatkan tempat VVIP dalam hidupku.

Aku sama sekali tidak memikirkan untuk menggantikan posisiNya dengan apapun atau siapapun. Hingga suatu waktu aku melihat Tuhan datang kepadaku dengan membawamu. Kamu pasti sudah menduga apa yang terjadi selanjutnya. Yang perlu kamu tahu adalah aku bukanlah Nabi atau Rasul, yang melakukan ini itu karena diperintahkan oleh Tuhan. Aku manusia biasa, hanya saja aku termasuk terlambat mengenal arti kata hasrat. Aku laki-laki biasa, hanya saja aku terlambat menyadari bahwa Tuhan juga menciptakan makhluk yang berlawanan jenis.

Semua yang sudah terjadi di antara kita memang terjadi karena hasratku terhadap salah satu ciptaanNya yang diantarkan langsung kehadapanku waktu itu. Kamu. Seandainya kamu tahu betapa hasrat itu kian hari kian membesar bagaikan sebuah gelembung yang telah sampai pada elastisitas maksimalnya. Siap meletus kapan saja.

Dan ketika gelembung itu benar-benar meletus di suatu malam bersamamu, sekonyong-konyong aku menyadari sesuatu. Cintaku telah mendua. Kini aku berada di antara dua tebing yang sama tinggi. Tuhan dan kamu. Aku kebingungan hendak mendaki yang mana.

Saat butiran tasbih di jariku bergerak seiring dzikir yang kuucapkan, saat itu pulalah kamu muncul di sana. Saat dahiku menyentuh bumi, kala itulah kamu muncul di sana. Kamu ada di mana-mana justru di saat-saat yang dulu merupakan momen eksklusif antara aku dan Tuhan.

Aku segera sadar itu salah. Tuhan tidak bisa disejajarkan dengan apapun. Seindah apapun makhluk ciptaanNya, dia tetaplah hanya makhluk ciptaan, yang tak akan pernah ada jika Tuhan tidak menciptakan.

Aku melihat pandangan matamu yang penuh tanya. Aku maklum jika kamu belum mengerti, karena aku pun butuh waktu lama untuk memahami, agar bisa mengungkapkannya dengan kata-kata seperti ini.

Sekarang aku mengerti mengapa Tuhan menghadirkanmu dalam hidupku, untuk menguji seberapa besar cintaku padaNya. Semakin lama aku menempatkanmu di posisi yang sama dengan Tuhan, semakin aku ketakutan. Aku takut Tuhan cemburu. Aku takut Tuhan murka karena hatiku sudah bercabang. Tahukah kamu apa yang sebenarnya kutakutkan? Bukan perpisahan atau kematian salah satu di antara kita, karena hidup ini toh hanya sementara. Yang aku takutkan adalah jika perpisahan dan kematian itu disebabkan murka Tuhan yang cemburu, sehingga perpisahan denganmu menjadi sesuatu yang abadi.

Aku tak ingin itu terjadi, sehingga aku mulai membangun sekat antara kamu dan Tuhan. Semacam membran osmosis satu arah yang memungkinkan Tuhan hadir antara kamu dan aku, tapi tidak memungkinkan kamu hadir antara aku dan Tuhan.  Membran itu kini ada, dan telah terkunci dengan sebuah mantra. Jika mantra itu sampai terucap tepat di hadapanmu, maka sekat itu akan terbuka dan lagi-lagi kamu akan berbaur di antara momen-momen eksklusifku dengan Tuhan. Kedua kalimat sederhana itulah mantranya. Jika aku mengucapkannya padamu sebagai ungkapan perasaan, kamu akan menjadi seorang dewi dan akan kian sulit mengembalikanmu menjadi sekedar makhluk ciptaan.

Aku berhenti bicara dan menunggumu bereaksi. Ekspresi wajahmu melembut, sinar matamu tak lagi seredup sebelumnya. Aku melihat semacam cairan yang mengambang di pelupuk mata, tapi bibirmu tersenyum. Aku tahu bahwa kamu tahu aku bukan orang yang mudah mengungkapkan sesuatu seperti malam ini. Kamu tahu bahwa aku tahu kamu sudah mengerti maksudku karena kita sama-sama mengenal Tuhan yang sama.

Kamu menutup malam tanpa banyak bicara. Aku hampir yakin bahwa setelah malam ini, kamu tidak akan pernah bertanya-tanya lagi tentang dua kalimat sederhana yang tak pernah terucap di antara kita.

Agak lama aku memandang wajah lelapmu. Ingin rasanya waktu berhenti sejenak agar aku bisa lebih lama mengagumi salah satu bentuk kasih sayang Tuhan. Aku menarik selimut agar menutupi bahumu sebelum melangkahkan kaki menuju teras tempat kita tadi berbincang.

Malam yang hening. Tak ada satu pun gemintang yang kelihatan, entah karena tertutup awan atau karena tergerus gemerlap cahaya lampu kota. Suara serangga yang sesekali masih terdengar di antara tanaman-tanaman koleksimu kini juga entah kemana. Semua seakan kompak menciptakan sepi yang tidak biasa.

Tanpa kuduga, aku mendengar gemerisik daun-daun yang beradu satu sama lain, pertanda ada udara mengalir yang menggerakkan ranting-ranting pepohonan. Angin semilir berhembus membelai kulitku. Aku tersenyum dan berbisik, aku cinta kamu, aku rindu kamu.

Ya, hanya jika dibisikkan pada angin, mantra itu tak kan bisa menuai tuah. Kamu akan tetap di posisimu dan Tuhan akan tetap di posisiNya. Hanya jika dibisikkan pada angin, aku bisa melepaskan segenap perasaan yang selalu menggelora tiap kali melihatmu. Cinta itu membongkah, rindu itu membuncah, tapi tak terucap.
-selesai-


Ditulis untuk seorang teman, yang lembut baik rupa, laku dan hati.

Kamis, 23 Mei 2013

Obat Generik Berlogo, Murah tapi Tidak Murahan


Obat Generik versus Obat Biasa

Suatu hari di ruang praktek dokter gigi, terjadilah percakapan antara Ibu dokter dan saya yang sedang meringis menahan sakit gigi.
Dokter : Saya kasih obat generik ya, Bu?
Saya     : *menggeleng cepat, Jangan dok, jangan obat generik.
Dokter : *menulis resep tanpa bicara lagi.

Agak bete juga sebenernya perasaan saya saat dokter itu menawarkan obat generik. Dipikirkannya saya nggak mampu bayar apa? Wong saya mampu beli obat berapapun harganya (toh nanti saya reimburse juga ke kantor, hehe). Ini kok malah ditawarin obat generik (baca; obat murahan/obat kelas dua). Apa saya ini kelihatan seperti orang tidak mampu? Huh, sebel.

Pembaca yang budiman, itu masa lalu. Seandainya saja, waktu itu saya paham mengenai obat generik, tentunya saya akan dengan suka hati menyambut tawaran sang dokter. Namun, karena saya sendiri kurang well informed dan sang dokter juga tidak berusaha menjelaskan lebih lanjut mengenai tawarannya tadi, akhirnya saya terpaksa merogoh dompet agak dalam demi menebus obat untuk mengobati sakit gigi saya.

Keputusan saya untuk meminta obat yang bukan obat generik sebenarnya bukannya tanpa alasan. Dari desas-desus, selentingan dan bisik-bisik burung yang saya dengar, obat generik adalah obat KW2, bahan aktif obatnya dikurangi, kualitasnya rendah, sehingga kalau minum obat generik sembuhnya akan lama, makanya harganya murah.

Di lain waktu, saya demam karena flu. Lagi-lagi saya ke dokter. Kali ini,didorong oleh rasa penasaran, ganti saya yang lebih dulu bertanya pada sang dokter.
Saya     : Obatnya generik ya, Dok?
Dokter : Iya, saya kasih yang generik aja ya.
Saya     : *diam tanda setuju, pikir saya sakit flu ini masih tertahankan daripada sakit gigi yang lalu. So, kalau memang terbukti obat generik memberikan efek sembuh yang lama, saya akan “say not to obat generik”

Ternyata, setelah mengkonsumsi obat generik tersebut, besok harinya saya sudah bisa kembali beraktivitas seperti biasa. Catat, besok lho, bukan lusa. Dari eksperimen kecil-kecilan tadi, saya menyimpulkan bahwa obat generik pun punya daya penyembuh yang sama dengan obat biasa. Padahal harganya luar biasa murah. Saya sampai malu mengklaim biaya berobat saya ke kantor, karena saking sedikitnya biaya yang harus saya keluarkan, hehe (padahal itu termasuk ongkos dokter).

Lagi-lagi, karena didorong oreh rasa penasaran, saya bertanya pada maha guru sejuta umat; google, apa sih yang dinamakan obat generik? Hasilnya saya dibuat malu, halaman pertama dan halaman kedua google menunjukkan artikel yang kesemuanya mematahkan prasangka buruk saya terhadap obat generik.

Tapi tidak mengapa, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Setidaknya sekarang saya tahu harus berbuat apa jika suatu hari nanti dapat giliran jatuh sakit; yakni meminta dokter untuk memberi saya Obat Generik Berlogo (OGB) ^-^

Macam-macam Obat
Sebelum lebih jauh menjelajah asal usul Obat Generik Berlogo, mari kita kenalan dulu dengan macam-macam obat yang ada di pasaran. Ada 3 kategori obat;
  1. Obat Paten
Contoh obat paten adalah; Panadol.
Namanya saja obat paten, artinya obat ini dilindungi hak paten. Mengapa dilindungi? Karena obat itu ditemukan melalui sebuah proses riset yang tentunya memakan biaya, waktu dan tenaga. Nah, sebagai bentuk apresiasi terhadap sang periset, perusahaan yang ingin memproduksi obat tersebut harus membayarkan sejumlah uang kepada si pemegang hak paten.
Biaya yang dibayarkan untuk membayar hak paten tersebut tentunya dimasukkan dalam production cost. Ujung-ujungnya, konsumen jugalah yang menanggung biaya hak paten tersebut. Belum lagi biaya kemasan yang dibuat semenarik mungkin dan juga biaya promosi yang tidak sedikit. Itulah yang membuat harga obat paten menjadi mahal.

  1. Obat Generik Bermerk
Contoh obat generik bermerk adalah; Pamol.
Hak paten sebuah obat ada waktunya. Sesuai UU no 14 tahun 2001, masa hak paten obat-obatan adalah 20 tahun. Masa hak paten bisa jadi lebih pendek dari 20 tahun jika obat-obatan tersebut mempengaruhi hidup manusia, misalnya obat untuk HIV/AIDS atau avian flu.
Setelah masa paten sebuah obat sudah habis, maka sebuah perusahaan farmasi biasanya akan membuat generiknya, tetapi diberi merk dagang. Misalnya, untuk zat aktif Amoxicilin, perusahaan farmasi A akan memproduksinya dengan merk Inemicilin, sedang perusahaan B akan memproduksinya dengan merk Gatoticilin.
Harga obat generik bermerk (OBM) bisa sedikit lebih murah atau bahkan sama dengan obat paten.
Ngomong-ngomong, sebenarnya definisi generik itu apa sih? Generik berasal dari bahasa Inggris, generic, yang artinya mengacu pada suatu yang umum (general). Dalam konteks biologi, generic berarti mengacu pada suatu genus tertentu. Jika diterjemahkan bebas, generic juga bisa berarti mengacu pada sebuah grup atau kelas tertentu.
Nah, yang sering disebut masyarakat sebagai obat generik bukanlah OBM ini, melainkan OBG atau Obat Generik Berlogo, yang penjelasannya bisa dibaca di bawah ini.

  1. Obat Generik Berlogo (OGB)
Contoh Obat Generik Berlogo adalah; Paracetamol.
Obat Generik Berlogo (OGB) memiliki tanda khas berupa lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan “generik” di tengahnya.
Sama dengan Obat Generik Bermerk, Obat Generik Berlogo juga merupakan obat yang telah habis masa hak patennya. Sehingga perusahaan farmasi dapat memproduksi obat tersebut tanpa membayar biaya royalti.
Obat Generik Berlogo diperdagangkan dengan menggunakan nama zat aktifnya, misalnya Amoxicilin.

Sejarah Obat Generik Berlogo di Indonesia
Obat Generik Berlogo sebenarnya merupakan program pemerintah yang sudah digagas sejak tahun 1989. Tujuannya sudah jelas, agar obat-obatan dapat menjangkau segala lapisan masyarakat.
Sayangnya, imej Obat Benerik Berlogo yang banyak beredar di Puskesmas, di mana pengunjung Puskemas biasanya adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah, membuat banyak orang mengasumsikan Obat Generik Berlogo adalah obat murahan dengan kualitas lebih rendah.
Oleh karena itulah, sosialisasi Obat Generik Berlogo ini perlu dilakukan untuk mengembalikan nama baik obat generik yang sudah berjasa besar memajukan level kesehatan masyarakat Indonesia.

Mengapa Harga Obat Generik Berlogo (OGB) Bisa Murah?
Barang mahal biasanya berkualitas bagus, barang murah biasanya berkualitas sebaliknya. Tapi hal ini tidak berlaku untuk Obat Benerik Berlogo (OGB). Sehingga kita tidak perlu ragu untuk memilih obat jenis ini.
Ada beberapa penyebab mengapa Obat Generik Berlogo dapat dibeli dengan harga yang jauh lebih murah. Selain ketiadaan biaya royalti yang harus dibayar produsen obat kepada pemilik hak paten, ada faktor lain yang membuat harga Obat Generik Berlogo menjadi lebih murah.
  1. Harga Obat Generik Berlogo (OGB) diatur oleh pemerintah
Tiap tahun, pemerintah akan mengeluarkan pedoman baru untuk mengatur harga Obat Generik Berlogo yang beredar di masyarakat. Peraturan ini muncul melalui SK Menteri Kesehatan. Saat tulisan ini dibuat, SK Menkes terbaru adalah Nomor 094/Menkes/SK/II/2012 tentang Harga Obat untuk Pengadaan Pemerintah Tahun 2012 dan Nomor 092/Menkes/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik.
Pedoman ini dikeluarkan tentu saja untuk memastikan agar Obat Generik Berlogo senantiasa terjangkau oleh masyarakat luas.

  1. Kemasan Obat Generik Berlogo dibuat sederhana
Berbeda dengan kemasan Obat Paten yang dibuat warna-warni dan lebih menarik, kemasan Obat Generik Berlogo biasanya dibuat sederhana.
Tapi jangan salah sangka dulu. Walaupun sederhana, kemasan Obat Generik Berlogo tetap dapat menjamin keamanan obat di dalamnya dari resiko kontaminasi.

  1. Produksi Obat Generik Berlogo merupakan produksi massal
Dengan memproduksi secara massal, biaya produksi Obat Generik Berlogo menjadi lebih efisien.

  1. Minim biaya promosi
Pernahkah melihat iklan di TV atau Radio atau media cetak yang mempromosikan Parsetamol? Kalau Panadol atau Pamol masih ada kan? Tahukah pembaca berapa besar biaya yang harus dikeluarkan seorang pemasang iklan di TV, terutama yang tayang di jam-jam prime time? Biaya itu belum termasuk biaya produksi iklan, semacam membayar honor bintang iklan. (Ingat saya Pamol pernah menggunakan Widyawati sebagai bintang iklannya).
Nah, jadi tanpa sadar, dengan membeli Obat Paten atau Obat Generik Bermerk, kita turut berkontribusi pada perusahaan farmasi agar bisa menyewa bintang iklan dan memasang iklan. Biaya ini tidak akan kita keluarkan seandainya kita memilih Obat Generik Berlogo yang pemasarannya sangat minim iklan atau bahkan tidak ada iklan sama sekali.


Obat Generik Berlogo, Murah bukan Berarti Murahan
Masih ingat logo Obat Generik yang berbentuk lingkaran hijau bergaris-garis putih dan bertuliskan “Generik” di tengahnya? Ngomong-ngomong, bentuk logo yang seperti kue lapis itu sebenarnya menunjukkan bahwa Obat generik Berlogo memang diadakan untuk dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Catat, seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya masyarakat miskin atau menengah saja.
Baiklah, kembali ke masalah logo. Bagi sebuah perusahaan farmasi, memproduksi obat generik mungkin bukan masalah. Yang jadi masalah adalah mendapatkan ijin untuk menempelkan logo tersebut dalam kemasan obat generiknya.
Nah, untuk mendapatkan logo tersebut, sebuah perusahaan farmasi harus sudah memiliki sertifikat CPOB sebagai bukti perusahaannya telah menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik. Ini menjadi satu lagi bukti bahwa harga obat generik berlogo yang lebih murah daripada obat biasa (baca; obat paten) tidak menunjukkan kualitas obat generik yang murahan.
Apa sih CPOB itu? Hyuuk, lanjut bacanya ^_^.

Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB)

CPOB sebenarnya adalah saudara kandung CPMB (Cara Produksi Makanan yang Baik). Keduanya diturunkan dari GMP (Good Manufacturing Practices).
Hal-hal yang detail tentang CPOB telah diatur oleh BPOM, dan bisa diakses di CPOB BPOM. Nah, berhubung dokumen CPOB ala BPOM tebalnya 300an halaman, biar bacanya nggak capek, di sini akan saya sharing sedikit poin-poin penting apa saja yang diatur di sana.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup CPOB adalah pembuatan obat dan pembuatan bahan obat.

Persyaratan-persyaratan CPOB
Untuk mendapatkan sertifikat CPOB, sebuah perusahaan farmasi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang diminta oleh BPOM. Persyaratan-persyaratan tersebut sangat banyak dan sangat detil. Yang akan saya tulis di bawah ini, adalah persyaratan yang saya anggap penting, walaupun ini hanya sebagian kecil saja yang diminta oleh BPOM. Yuk, cekidot ^-^

A. Sumber Daya Manusia
·  Sumber daya manusia harus terlatih dan qualified.
·  Sumber daya manusia harus tersedia dalam jumlah yang memadai
·  Tiap personil hendaknya tidak dibebani tanggung jawab yang berlebihan untuk menghindari resiko terhadap mutu obat.
·  Kepala bagian produksi dan pengawasan mutu dan manajemen mutu hendaklah seorang apoteker yang terdaftar dan memiliki pengalaman praktis dalam bidang pembuatan obat.

B. Training / Pelatihan Personil
·  Perusahaan harus memberikan pelatihan bagi seluruh personil produksi, gudang penyimpanan atau laboratorium. Pelatihan ini meliputi teori dan praktek CPOB dan pelatihan yang sesuia dengan tugas yang diberikan.
·  Pengunjung atau personil yang tidak mendapatkan pelatihan tidak boleh masuk ke area produksi dan labortaorium qc, sebelum mendapatkan penjelasan tentang personal higiene.

C. Bangunan
·  Letak bangunan harus dihindarkan dari pencemaran lingkungan.
·  Desain bangunan dibuat sedemikian rupa agar kebal terhadap gangguan cuaca, banjir, rembesan air dari tanah serta akses masuk bagi binatang pathogen.
·  Bangunan di area produksi, lab, gudang, koridor harus selalu rapi dan bersih.

D. Fasilitas Produksi
·  Pembuatan produk racun (misal pestisida) tidak diijinkan dibuat di fasilitas pembuatan obat.
·  Area kerja harus memadai untuk penempatan peralatan dan bahan secara teratur sesuai alur proses untuk memperkecil resiko kekeliruan antara produk obat, mencegah kontaminasi silang, atau resiko salah melaksanakan tahaan produksi.
·  Area produksi harus mendapatkan penerangan yang memadai.
·  Peralatan manufaktur harus didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan.
·  Alat produksi yang bersentuhan dengan produk obat tidak boleh bersifat reaktif, aditif atau absortif.

E. Personal Hygiene
·  Semua personil yang masuk ke area produksi harus menggunakan pakaian pelindung yang sesuai.
·  Pakaian atau lap kerja yang kotor harus disimpan dalam wadah tertutup hingga saat pencucian.
·  Semua personil harus menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala.
·  Tiap personil yang mengidap penyakit atau menderita luka terbuka yang dapat merugikan produk dilarang menangani proses yang berhubungan dengan bahan, produk dan kemasan.
·  Di area produksi, lab dan gudang, tidak diperbolehkan merokok, makan, minum, mengunyah, memelihara tanaman, menyimpan makanan, rokok atau obat pribadi.
·  Toilet harus tersedia dalam jumlah yang cukup.

F. Proses Produksi
·  Bahan baku dan produk jadi harus dikarantina secara fisik sampai dinyatakan lulus untuk dilakukan distribusi.
·  Produksi obat yang berbeda tidak boleh dilakukan secara bersamaan atau bergantian dalam ruang kerja yang sama, kecuali tidak ada resiko kontaminasi silang.
·  Produk dan bahan baku harus dilindungi dari pencemaran mikroba.
·  Semua bahan, peralatan dan mesin produksi harus diberi label.
·  Akses ke fasilitas produksi harus dibatasi hanya untuk personil yang berwenang.
·  Bahan baku hanya boleh didapat dari supplier yang sudah disetujui.

G. Pengawasan Mutu Produk
·  Tiap produk harus dilakukan pengujian sebelum diluluskan untuk didistribusi.
·  Produk yang tidak sesuai spesifikasi harus ditolak.
·  Tempat sample harus diberi label yang menjelaskan isi, nomor batch, tanggal pengambilan sampel.
·  Sebelum dan setelah dipakai, alat pengambil sampel harus dibersihkan, disterilkan dan dipisah secara terpisah dengan alat lab lainnya.
·  Metode analisis harus divalidasi apakah telah sesuai dengan metode yang telah disetujui.

Lumayan ribet juga ya persyaratan-persyaratan yang diminta oleh BPOM agar sebuah perusahaan dapat memperoleh sertifikat CPOB? Bisa dibayangkan, CPOB mengatur cara pembuatan obat secara detail, mulai dari personil, kualifikasi karyawan, pembelian bahan baku, penyimpanan bahan baku dan produk, proses produksi, bangunan, fasilitas utama produksi, peralatan, prosedur kerja dan pengawasan mutu.
Kalau melihat effort yang dikeluarkan oleh perusahaan farmasi agar bisa memproduksi obat Generik Berlogo sedemikian besar, maka kualitas dan keamanan Obat Generik Berlogo tidak perlu diragukan lagi.

Baiklah, jika kualitas dan keamanan Obat Generik Berlogo (OGB) tidak diragukan, lantas bagaimana daya penyembuh obat generik berlogo dibanding dengan obat paten?
Jawabannya adalah; sama saja. Obat generik berlogo tidak hanya memiliki bahan aktif yang sama dengan obat paten, melainkan juga dosis, kekuatan, cara kerja, cara pemakaian dan penggunaan.
Untuk menjamin bahwa obat generik berlogo memiliki khasiat yang sama dengan obat paten, hal-hal di bawah ini harus dipenuhi ketika sebuah obat generik berlogo didaftarkan;
·  Mengandung bahan aktif yang sama dengan obat patennya (bahan non aktifnya boleh tidak sama).
·  Memiliki kekuatan dan dosis penggunaan yang sama.
·  Memiliki indikasi penggunaan yang sama.
·  Bioekivalen, artinya memiliki kesetaraan dengan obat paten dalam hal jumlah zat aktif dan kecepatan zat aktif untuk diserap oleh tubuh.
·  Memenuhi persyaratan tentang kemurnian dan kualitas
·  Diproduksi secara CPOB

Daftar Obat Generik Berlogo
Memang tidak semua jenis obat ada generiknya. Obat-obat yang baru ditemukan tidak akan bisa dibuat Obat Generik Berlogo-nya karena masih dalam masa hak paten.
Sayangnya saya masih belum menemukan daftar obat generik yang telah disetujui oleh BPOM, seperti yang saya temukan untuk obat-obatan yang telah disetujui oleh FDA.
Sebagai saraa sosialisasi obat generik di luar negeri, FDA telah menyediakan sebuah sarana bagi konsumen untuk mengecek apakah obat bermerk mereka memiliki obat generiknya, yang bisa diakses di Drugs@FDA.
Cara penggunaannya adalah dengan memasukkan nama merk obat, kemudian klik submit dan nanti akan muncul keterangan apakah obat tersebut sudah ada generiknya (therapeutic equivalent), nama generik beserta dosisnya.


Masukkan nama merk obat

Jika ada obat generiknya, maka akan muncul tanda Therapeutic Equivalent

Berita baik untuk Indonesia adalah pada tanggal 18 Maret 2013, Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, SPa, MPH meluncurkan e-Catalog Obat Generik untuk Pengadaan Pemerintah. Tujuannya adalah pengadaan obat generik di sektor pemerintah dapat lebih transparan dan akuntabel.Informasi yang bisa diakses dari e-catalog ini adalah nama obat, jenis, spesifikasi teknis, harga satuan terkecil dan pabrik penyedia.
Tapi jangan khawatir, silahkan klik Daftar ObatGenerik untuk melihat daftar nama obat generik berlogo yang sudah diproduksi di Indonesia beserta indikasi penggunaannya.

Mendapatkan Obat Generik Berlogo adalah Hak Pasien
Sembuh dari sakit dan kembali sehat adalah hak tiap orang. Demikian juga untuk mendapatkan obat generik berlogo yang menjadi hak tiap pasien.
Tak perlu ragu atau gengsi untuk meminta dokter memberikan obat generik, sebab obat generik berlogo sejatinya bukan obat kelas dua atau kelas tiga. Kalau boleh saya simpulkan lagi cuap-cuap saya tentang obat generik berlogo di atas, bahwa memilih obat generik berlogo memiliki banyak keuntungan, salah satunya adalah lebih menghemat budget kesehatan tanpa kehilangan manfaat dan khasiat obat yang dibeli.
Tapi satu hal yang perlu diingat, mau obat paten atau obat generik bermerk atau obat generik berlogo, kesemuanya hanyalah sarana berikhtiar untuk menjadi sehat. Karena satu-satunya sumber penyebab kesehatan dan kesembuhan dari suatu penyakit hanyalah dari Sang Maha Pencipta.

Semoga artikel ini bermanfaat ^-^

Referensi;

Minggu, 12 Mei 2013

Catatan #7. Lupakan Fiqih Shalat


Gerakan shalat setelah duduk di antara dua sujud adalah sujud lagi. Tapi terkadang saya tidak bisa melakukan itu, terutama saat shalat sunnah ba’diyah, karena saya harus menunggu tidak ada kaki-kaki yang menginjak tempat saya akan sujud. Akhirnya duduk di antara dua sujud saya menjadi jauh lebih lama dari biasanya.
Banyaknya jamaah yang berharap bisa shalat di dalam masjid menyebabkan kami seringkali harus berbagi shaf dengan jamaah lain. Space yang terlalu sempit tentu saja menyebabkan posisi duduk tahiyat akhir seringkali tidak bisa sempurna.
Jika sudah dalam keadaan bersempit-sempit ria, saya seringkali membiarkan kedua jamaah di kanan kiri saya sujud terlebih dahulu baru kemudian saya menyusul sambil berusaha menciutkan tubuh agar bisa masuk di antara keduanya.
Lain lagi jika sudah berdekatan dengan jamaah yang membawa anak balita. Terkadang sang anak ini “lepas” dari ibunya dan menjelajah tempat shalat di sebelah-sebelahnya. Tak jarang salah satu dari mereka lantas duduk manis di tempat jidat saya seharusnya menempel kala sujud. Alhasil, saya harus sujud dengan posisi agak miring agar tidak ketinggalan shalat jamaah.
Pernah suatu kali seorang balita “lepas” dari Ibunya dan merangkak sendiri hingga tepat di depan saya. Dia berhenti lama sambil memainkan ID card yang tidak sengaja lepas dari leher saya saat bersujud. Bosan bermain ID card, pandangannya beralih ke tumpukan Quran di depan jamaah asal Mesir yang sedang shalat di sebelah kiri saya. Diraihnya tumpukan Quran itu dan memainkannya seakan-akan kitab suci itu adalah majalah anak-anak.
Spontang sang wanita Mesir itu berusaha mencegah sang balita memainkan kitab suci tersebut, namun si anak tidak peduli. Perlu dicatat bahwa saat itu kami sedang shalat Isya’ rakaat kedua, menjelang tahiyat awal. Pada saat duduk tahiyat awal, karena melihat sang jamaah Mesir ini kuwalahan dengan tingkah si bocah, saya segera mengambil inisiatif untuk mengangkat tumpukan Quran itu dan memindahkannya ke belakang shaf agar sang anak tidak bisa meraihnya.
Saat melihat ke belakang, saya menyadari Alquran itu harus diletakkan di atas lantai. Saya tak tega. Tanpa banyak berpikir, saya memutar tubuh lagi menghadap depan dan meraih tas tangan sang orang Mesir yang memang sejak tadi menjadi alas tumpukan Quran. Setelah menggenggam tas tersebut, kembali tubuh saya putar ke belakang untuk meletakkannya di bawah tumpukan Al Quran.
Tentu saja sang anak protes melihat “mainan”nya diambil, tapi setidaknya sang orang Mesir bisa kembali shalat dengan tenang. Saya pun tidak lagi khawatir Al Quran itu akan rusak atau sobek dan kepikiran melihat jamaah Mesir di sebelah saya yang kebingungan.
***
Saya akui, beberapa kali memang saya shalat tidak sesuai dengan panduan fiqih shalat untuk orang dewasa yang berbadan sehat. Tapi saya yakin shalat sejatinya bukan hanya masalah fiqih. Shalat adalah sebuah kegiatan yang menghubungkan seseorang dengan penciptaNya. Tidak perlu khawatir, menjaga agar kualitas sinyal konektivitas dengan sang Maha Kuasa tetap tinggi di Masjidil Haram adalah pekara yang tidak terlalu sulit.
Aura jutaan orang yang senantiasa menjaga wudhunya dan dengan khusyu’ melakukan aneka ibadah di Masjidil Haram, akan mempengaruhi gelombang pikiran kita. Terasa sekali betapa mudahnya mencapai tingkat konsentrasi beribadah yang agak sulit diraih saat sedang shalat di tanah air. Mungkin karena tempat itu adalah tanah suci, kota suci, masjid suci, rumah Allah. Wallahu a’lam.

Catatan #6. Laskar Wanita


Sebaiknya sebisa mungkin Anda tidak berurusan dengan yang namanya laskar wanita. Seram soalnya. Pertama kali berjumpa, saya sempat ngeri juga. Berjenis kelamin perempuan, bertubuh besar, berpakaian serba hitam, bercadar, bersuara keras dan bernada membentak, terutama jika kita melakukan kesalahan seumpama shalat di tempat yang salah. Tapi beberapa lama kemudian saya terbiasa dan mulai mengerti mengapa mereka melakukan itu.
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah masjid yang dikunjungi jutaan orang tiap harinya. Mereka datang dari berbagai negara dengan berbagai bahasa dan budaya. Kalau tidak ada laskar, entah apa jadinya dengan ketertiban di kedua masjid suci ini. Orang mungkin seenaknya akan menggelar sajadah di anak-anak tangga, di jalan-jalan masuk atau lebih parah lagi, bercampur antara jamaah laki-laki dan perempuan. Untuk itulah para laskar ini ada. Mereka akan mengawasi sebuah blok tempat shalat dan menghalangi akses masuk ke tempat itu dengan tubuh besarnya jika dilihat sudah tidak ada lagi shaf yang kosong.
Melihat wujud laskar yang galak, jangan keburu berburuk sangka. Merekalah yang berperan menjaga kenyamanan beribadah para tamu Allah. Jika suatu saat mereka melarang untuk shalat di suatu tempat, itu karena memang tempat itu mungkin akses jalan umum. Namun jangan khawatir, mereka tidak hanya asal melarang tapi juga akan menunjukkan tempat lain yang bisa kita pakai untuk shalat.
Jangan takut Anda sampai tidak bisa melakukan shalat sunnah setelah thawaf di depan multazam. Sepenuh-penuhnya tempat tersebut, insha Allah para laskar ini tetap akan memberi kesempatan untuk shalat (walaupun tidak untuk berdoa lama-lama).
Satu lagi, segalak-galaknya laskar, mereka tidak akan berani mengganggu saat kita sedang shalat. Mereka akan menunggu hingga kita selesai salam, baru kemudian melakukan “pengusiran” jika kita shalat di tempat yang salah.
Selain mengenai tempat shalat, para laskar juga sangat ketat dengan barang bawaan. Kamera adalah contoh benda yang dilarang untuk dibawa masuk. Ponsel berkamera masih diijinkan untuk dibawa masuk selama di dalam tidak dipakai mengambil gambar secara berlebihan. Sebaiknya saat hendak masuk, usahakan ponsel berada di dalam saku untuk berjaga-jaga agar tidak menjadi masalah.
Jika ada laskar wanita, tentunya ada juga laskar laki-laki. Tapi saya lebih ngeri menghadapi yang wanita. Laskar laki-laki lebih halus. Caranya memeriksa barang bawaan juga tidak kasar. Caranya “mengusir” jamaah yang salah tempat shalat juga tidak membuat bulu kuduk merinding.
Tapi keberadaan laskar-laskar ini memang penting. Masjidil Haram mungkin akan menjadi masjid yang ruwet dan tidak nyaman digunakan untuk beribadah seandainya mereka tidak ada. Walaupun terlihat seram dan galak, sesungguhnya mereka lah yang punya peranan besar memanjakan tamu-tamu Allah agar lebih nyaman beribadah.

Catatan #5. Kebersihan Masjidil Haram



Masjidil Haram bagaikan mall 24 jam. Bedanya orang datang ke sana untuk mencari ampunan, rahmat dan syafaat.  Di malam hari, tempat ini justru ramai-ramainya. Waktu-waktu yang paling sepi adalah antara setelah shalat Shubuh dan shalat Dhuhur. So, untuk areal masjid yang sedemikian besarnya, terbayangkah bagaimana cara bersih-bersihnya jika tempat itu tidak pernah sepi pengunjung?
Untuk pelataran luar, para petugas akan membuat batas-batas area dengan menggunakan semacam tali police line. Tiga atau empat petugas akan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tiang. Sementara rekan-rekan yang lainnya akan membersihkan area yang telah dibatasi itu dengan cairan berbau karbol.
Biasanya ini dilakukan saat siang hari saat jarak antara shalat Shubuh dan Dhuhur agak panjang. Kenapa begitu? Sebab pelataran Masjidil Haram akan disulap menjadi areal shalat saat menjelang waktu shalat. Pembatas-pembatas akan dipasang sekitar satu jam menjelang waktu adzan untuk memisahkan area shalat bagi perempuan, laki-laki dan untuk jalur pejalan kaki. Sebuah karpet polimer berwarna kelabu akan dipasang sebagai penunjuk bagi jamaah yang baru menginjak pelataran masjid agar mudah menemukan arah pintu masuk.
Jika pelataran masjid sudah hampir pasti tidak akan ditempati jamaah di luar waktu-waktu shalat, lain halnya dengan di bagian dalam Masjid, terutama di lantai satu. Di tempat ini, masih banyak ditemui jamaah yang sedang shalat Dhuha, berdzikir, mengaji atau menunggu kerabatnya yang sedang thawaf atau sa’i. Golongan orang-orang yang melepas lelah juga banyak, mulai yang sekedar menikmati air zam-zam dari dispenser yang berlimpah ruah, duduk-duduk, berbaring sampai tidur lelap.
Luasnya area masjid mungkin menyebabkan acara bersih-bersih masjid tidak akan selesai di waktu Dhuha. Itu sebabnya, saat kami sedang duduk manis di shaf masing-masing menunggu waktu adzan, 2-3 orang petugas akan menyuruh kami berdiri (tapi tidak boleh jauh-jauh, agar shafnya tidak ditempati orang lain), sehingga mereka bisa membersihkan karpet dengan vacuum cleaner sementara kami berdiri.
Mengenai sampah di masjid, tidak perlu khawatir. Petugas kebersihan akan secara periodik berlalu lalang di antara baris-baris shaf sambil membawa sebuah kresek besar. Dia bertugas mengumpulkan sampah-sampah yang diproduksi oleh para jamaah, berupa gelas plastik, bungkus makanan, tissue, biji kurma dan lain-lain.
Jangan heran mengapa sampah-sampah ini ada. Kebanyakan jamaah (termasuk saya), lebih suka tinggal di Masjid di antara beberapa waktu shalat, misalnya antara shalat Maghrib-Isya, antara shalat Lail-Shubuh. Nah, di antara waktu-waktu tersebut, tak jarang jamaah akan membongkar bekal makanan kecilnya dan menikmatinya di tempat shalat. Apalagi mereka yang membawa anak kecil, biasanya jika sekedar permen saja pasti ada.
Kalaupun tidak demikian, di antara waktu-waktu tersebut, biasanya ada di antara jamaah yang membagi-bagikan makanan; kurma, buah-buahan atau kue. Jika sudah demikian, maka sudah dipastikan yang namanya sampah pastilah akan ada.
Agar tidak mengganggu kekhusyukan beribadah dan kebersihan masjid, maka petugas-petugas kebersihan akan berkeliling di antara jamaah sambil membawa tas plastik. Jamaah yang kebetulan dilewati akan langsung otomatis memungut sampah-sampah di dekatnya dan memasukkannya ke dalam kantong tersebut.
Demikian juga di area tahallul. Sebuah tempat sampah besar memang sudah disediakan. Namun seorang petugas kebersihan juga sudah stand-by dengan sapu dan “cikrak” untuk menampung bekas potongan rambut para jamaah yang menutup ritual umrah atau hajinya.
Di tempat di mana deretan dispenser air zam-zam diletakkan juga demikian. Petugas kebersihan akan senantiasa waspada untuk menjaga agar area pengambilan air zam-zam selalu bersih dan kering.
Hasilnya memang patut diacungi jempol. Masjidil Haram, yang dikunjungi jutaan manusia tiap harinya, adalah tempat yang bersih. Nyaris tidak ada sampah berceceran. Karpet alas shalat pun tidak berbau apak. Lantai masjid pun tidak becek, walaupun hampir di mana-mana terdapat dispenser air zam-zam.

Sabtu, 11 Mei 2013

Catatan #4. Air Mata di Baitullah



Baitullah (a.k.a Ka’bah) adalah tempat yang menakjubkan. Padahal dia bukan bangunan yang tinggi menjulang dengan arsitektur luar biasa. Dia hanyalah sebuah bangunan berbentuk kubus yang ditutupi kiswah berwarna hitam dan bersulam rangkaian huruf-huruf Arab dengan benang emas. Tapi keberadaannyalah yang membuat milyaran umat Nabi Muhammad rela menempuh perlananan ribuan kilometer demi bisa mengunjunginya.
Konon katanya, sekeras-kerasnya hati seseorang, dia akan menangis begitu melihat Ka’bah.
Dan memang benar demikian. Saya memperhatikan beberapa anggota jamaah rombongan kami sibuk menyeka air mata ketika hari pertama kami menginjakkan kaki di Masjidil Haram. Tak ada kata yang sanggup menggambarkan bagaimana perasaan kami kala untuk pertama kalinya melihat rumah Allah. Terasa sekali kehadiran sang Maha Pencipta begitu dekat. Masha Allah. Benarlah, kami memang saat itu bisa berada di sana, tidak lain dan tidak bukan adalah karena Allah yang memanggil.
Ketika thawaf, saya menjumpai banyak orang dengan air mata berleleran di pipi. Hanya Allah yang tahu arti masing-masing air mata yang meleleh di pelataran Ka’bah. Dosa yang dimohonkan ampunan, hajat yang dipanjatkan untuk dikabulkan, atau keharuan-keharuan lain yang tidak bisa didefinisikan.

Duhai Allah,
Anak nakal ini datang
Anak manja ini memenuhi panggilanMu
Anak berlumur dosa ini menginjakkan kaki di rumahMu
Berthawaf bersama jutaan hambaMu
Sungguh bukan apa-apa yang membawaku kemari melainkan Engkau
Tidaklah kehendakku yang membawaku kemari melainkan kehendakMu
Walau diri ini merasa tidak cukup pantas menjadi tamuMu

credit photo; google image.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)