Jumat, 19 April 2013

A Whole New World


“A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we’re only dreaming

A whole new world
A dazzling place I never knew
But now from way up here
It’s crystal clear
That now I’m in a whole new world with you”

Well, saya memang bukan Putri Jasmine yang melayang-layang mengendarai karpet terbang, melihat indahnya dunia di luar dinding istananya. Saya juga bukan Pangeran Sidharta Gautama yang terkungkung dalam tembok-tembok tinggi istana dan tidak pernah melihat bagaimana kehidupan di baliknya.
Saya hanya manusia biasa, yang banyak orang bilang, telah memiliki segalanya.
Jika dilihat dalam scope basic need, ya, benar, di usia kepala tiga ini, saya memang telah memiliki segalanya.
Saya punya keluarga. Tempat mencurahkan segenap cinta dan mendapat curahan kasih sayang.
Saya punya pekerjaan tempat menancapkan kuku-kuku eksistensi saya. Tempat saya berkarya, bersosialisasi dan menjalin relasi.
Hidup saya tidak pernah sepi karena dua hal di atas; keluarga dan pekerjaan.
Sejak kecil, hidup saya juga tidak pernah kekurangan walau tidak terlalu berlebihan. Tapi setidaknya saya hampir selalu mendapatkan apa yang saya mau. Meski tidak semua.
Saya pernah mengkhayalkan memiliki sebuah perpustakaan komik terlengkap. Tapi apa daya, kecepatan penerbit mencetak komik-komik baru lebih tinggi ketimbang kecepatan saya menabung uang-uang jajan saya. Jadilah keinginan itu kini hanya mimpi masa kecil.
Tapi overall, masa kecil saya bahagia, pun demikian dengan masa remaja saya. Masa dewasa apalagi.
Saya sangat bersyukur. Pasti. Kalau tidak, wah, keterlaluan sekali!! Tuhan akan memurkai saya dengan azabNya yang sangat pedih.
Tapi tahukah Anda, jika sebenarnya saya tidak bahagia? Ralat, Saya PERNAH tidak bahagia, dalam kondisi serba berkecukupan seperti ini.
Apakah ketidakbahagiaan yang dulu itu karena manifestasi rasa tidak bersyukur? Wallahu a’lam. Hanya Tuhan yang tahu. Karena rasa syukur adalah ranah di mana hanya saya dan Tuhan yang tahu, sebaiknya tidak perlu diperpanjang lagi. Yang pasti, saya PERNAH merasa tidak bahagia, justru setelah kehadiran putra kedua kami; Kairo.
Kira-kira 3 tahun lalu, setelah menghabiskan masa maternity leave, saya merasa ada yang tidak beres. Masalahnya,saya tidak tahu di bagian mananya yang salah. Saya tetap bekerja, penghasilan keluarga tidak berkurang, malah bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Tapi saya tetap merasakan ada sesuatu yang salah. Semangat hidup saya hilang. Saya menjalani rutinitas sehari-hari secara otomatis. Seperti robot.
Ya betul! Pada akhirnya saya bisa mendefinisikan arti ketidakbahagiaan saya. Saya menjadi robot berbentuk manusia. Eh, atau saya manusia tapi menjadi robot. Pokoknya, waktu itu saya jadi tidak bisa membedakan apakah saya ini manusia atau robot.
Dibilang robot, saya masih doyan makan sambel. Mana ada robot suka sambel, ya kan?
Dibilang manusia, perasaan saya mati. Iya, mati, pet! Bukankah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah keberadaan perasaan? Pokoknya sulit menggambarkan bagaimana perasaan saya waktu itu, karena saat itu berasa gelap. Saya kehilangan hasrat untuk berkeinginan. Saya kehilangan kemauan untuk mau berbuat sesuatu. Saya tidak tahu harus berbuat apa-apa kecuali menangis dan menangis di tempat-tempat tersembunyi.
Sedikit cahaya lilin mulai bersinar tatkala suatu malam suami saya pulang sambil membawa sebuah laptop. Entah angin apa yang membuatnya tiba-tiba membeli sebuah notebook untuk saya. Warna laptop bermerk Acer itu hitam legam, tapi di mata saya laptop itu bak cahaya pelita yang menerangi segenap sudut ruang hati saya yang tergelap.
Laptop itu akhirnya membuat saya mengenal blogspot, wordpress, seo, asian brain, backlink, pingomatic, digg, traffic travis dan masih buanyak lagi. Terlebih lagi, laptop itu telah membuat saya mengenal dunia tulis menulis; artikel, chicken soup for the soul, essay, puisi, quote dan sekarang fiksi.
Laptop itu kini tidak hanya menjadi lilin malainkan sebuah lampu sorot warna-warni. Laptop itu telah membawa saya ke sebuah dunia baru yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Laptop itu telah membantu saya menemukan sebuah negeri yang indah, yang merupakan kombinasi dari fantasi, imajinasi, gairah dan kebebasan. Laptop itu mengajak saya untuk membangun sebuah impian, hal yang dulu tidak pernah saya lakukan.
Tapi bohong kalau saya bilang tidak takut. Bagaimanapun, saya tidak pernah tahu apa yang menanti saya di dunia baru ini. Bisa jadi dunia baru ini akan membawa derita dan air mata. Tapi saya tidak memungkiri adanya kemungkinan bahwa senyum dan tawalah yang menanti saya di ujung jalan kelak. Yang jelas, rasa takut inilah yang membuat saya tetap bertahan. Yang jelas, dunia baru ini membuat kebahagiaan saya kembali.
Kini saya benar-benar telah menjadi seseorang yang telah memiliki segalanya, kecuali alasan untuk tidak berbahagia.

Rabu, 17 April 2013

Hijab di Malam Natal, My Hijab Story


 Kisah awal mula aku berjilbab terbilang unik. Jika diingat-ingat lagi, hari pertama aku berjilbab adalah hasil dari rangkaian kejadian yang panjang. Sungguh, Allah memang bekerja dengan cara yang misterius, tidak terduga.
Aku masih ingat pada suatu sore, aku pulang ke rumah sambil menangis. Saat itu resmi delapan bulan aku menyandang predikat “pengangguran” setelah dinyatakan lulus sebagai sarjana teknik. Untuk kesekian kalinya, aku tidak lulus tes masuk kerja.
Saat mata masih sembab oleh air mata, Bapak masuk ke kamar dan memberikan secarik catatan. Panggilan tes lagi, di salah satu perusahaan produsen pangan terbesar di Indonesia. Aku bongkar loker-loker dalam otakku yang berisi memori, berharap menemukan data kapan aku melamar di perusahaan itu. Tidak ketemu, saking banyaknya surat lamaran yang kukirimkan.
Aku memandang tulisan Bapak dengan mood yang sudah menguap. Bosan ikut tes melulu tapi tak kunjung dapat pekerjaan. Pun begitu, aku tetap mendatangi perusahaan tersebut, dan mengikuti tahap demi tahap seleksi. Alhamdulillah, setelah masa seleksi selama 2 bulan, aku direkrut sebagai karyawan melalui sebuah program berjudul Manufacturing Apprentice. Aku adalah satu dari 10 orang Apprentice yang tersaring dari ribuan pelamar. Tak terkira besarnya rasa syukurku saat itu.
Program Manufacturing Apprentice ini adalah program yang berdurasi 18 bulan. Selama 18 bulan itu nantinya kami akan mendapat pelatihan di kelas disusul dengan pemagangan di lapangan selama 1 tahun. Di akhir bulan ke-18, kami akan diuji di depan jajaran manajemen untuk menentukan apakah kami layak diangkat sebagai karyawan tetap dan langsung menduduki jabatan di tingkatan middle management.
Bulan ke-6 sebagai Apprentice, kami mulai ditempatkan di departemen di mana kelak nantinya kami akan bekerja. Alangkah terkejutnya aku, ketika tahu lokasi penempatanku adalah di Departemen Produksi, sebuah kelompok kerja yang setahuku terdiri dari sekitar 500-600 orang, dan semuanya laki-laki. Tapi aku tidak punya pilihan dan tidak punya wewenang untuk memilih apalagi alasan untuk menolak.
Di hari pertama aku melangkahkan kaki di Departemen Produksi, aku seakan menodai dominasi kaum lelaki di tempat itu. Saat itu, aku adalah perempuan pertama yang menjadi karyawan di departemen yang bahkan tidak memiliki toilet wanita.
Aku berusaha secepat mungkin beradaptasi. Seharusnya tidak sulit, karena sebagai mantan mahasiswi jurusan teknik, teman-teman priaku cukup banyak. Namun entah mengapa, perlahan tapi pasti, menjadi sebentuk anomali membuat aku mulai tidak nyaman dan serba salah.
Bukan. Bukan karena rekan kerjaku bersikap tidak sopan atau karena aku sulit beradaptasi. Bukan karena medan kerja yang tidak biasa. Bukan karena aku harus banyak berjalan cepat, naik turun tangga, berlari, meloncat, memanjat maupun mengangkat beban berat. Ada suatu perasaan aneh yang timbul. Perasaan itu mulanya tipis bagaikan kabut yang lama kelamaan semakin menebal.
“Aku-merasa-telanjang”
Entah darimana perasaan itu timbul, aku tidak tahu. Yang jelas rasa itu membuatku tidak nyaman. Padahal pakaian kerjaku adalah pakaian biasa; celana panjang dan blus lengan panjang, tapi aku merasa luar biasa malu. Padahal rekan-rekan kerjaku melihatku dengan pandangan biasa, tapi aku merasa sangat tidak percaya diri.
Gelombang perasaan yang aneh itu datang bertubi-tubi dan mulai memaksaku berhijab. Namun aku tidak serta merta menuruti paksaan yang entah dari mana datangnya. Aku belum siap. Statusku sebagai karyawan percobaan membuatku berpikir dua kali sebelum mengenakan hijab ke pabrik. Aku takut hijab tersebut akan berpengaruh pada penilaian performa kerjaku nanti. Aku belum siap kehilangan pekerjaan yang sudah kuperoleh dengan susah payah ini.
Skenario Allah berikutnya untuk membuatku berhijab rupanya sudah disiapkan. Skenario itu berwujud surat undangan di atas meja kerjaku di suatu pagi. Dari bentuknya aku langsung tahu itu undangan untuk acara apa. Selembar kertas karton berukuran A5, bernuansa hijau merah, ditambah lambang salib, itu undangan acara natal di kantor. Awalnya aku heran, “Apa panitia ini tidak tahu kalau aku Muslim ya?”. Ternyata setelah aku tanya sana-sini, memang  ada beberapa rekan Muslim yang diundang dengan beberapa pertimbangan.
Aku tidak ingin datang sebenarnya, tapi lagi-lagi status sebagai karyawan junior membuatku sungkan untuk tidak datang.
Akhirnya aku datang, tapi dengan berjilbab.
Jika mengingat keraguanku sebelumnya, memang tindakanku sedikit aneh. Itu benar-benar sebuah tindakan spontan yang kulakukan tanpa banyak proses berpikir dan menimbang. Alasanku simpel, hijab itu adalah moslem’s identity di sebuah hajatan teman-teman Nasrani.
Selepas malam natal itu, entah mengapa aku enggan melepas hijab. Menghadiri acara natal itu membuat aku yakin, pas, klik, bahwa aku memang benar-benar harus berhijab. Aku tidak peduli lagi dengan masa percobaanku atau status Apprentice-ku.
Keesokan paginya, aku membuat kehebohan. Aku datang ke pabrik dengan berjilbab. Atasan-atasanku, yang mayoritas non Muslim sempat bertanya-tanya; “Penampilannya ganti ya? Apa dengan baju begitu, kamu masih mau naik turun pabrik?”.
Beruntung seorang rekan senior menjawab; “Dia kan hanya menjalankan kewajibannya Pak, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan”. Aku hanya menjawab dengan senyuman
Seniorku benar. Seharusnya aku melakukan ini dari dulu. Kenapa aku mesti memikirkan penilaian orang, padahal yang menentukan nasibku, rejekiku, kelangsungan hidupku di perusahaan ini bukan mereka, melainkan Dzat Maha Kuasa yang sedari dulu memerintahkan seorang muslimah dewasa untuk berhijab.
Aku menjalani sisa masa percobaan dengan lebih tenang dan nyaman. Hijab membuatku lebih mudah bergaul, berkoordinasi, berdiskusi dan bekerja sama dengan rekan-rekan kerja yang semuanya laki-laki. Malah setelah berjilbab, aku merasa mereka lebih berhati-hati jika bicara atau bercanda. Banyak dari mereka kemudian berhenti bersiul-siul tiap kali aku lewat, melainkan berganti dengan ucapan salam, “Asslammualaikum”.
Di penghujung program Manufacturing Apprentice, aku dinyatakan lulus dan diangkat sebagai karyawan tetap. Score cardku menyatakan aku memperoleh nilai terbaik di antara kami bersepuluh. Hijabku ternyata sama sekali tidak membawa mudharat terhadap penilaian prestasi kerjaku.
Sekarang, ketika aku menengok sekilas ke belakang untuk melihat sejarah hidupku, aku terkagum-kagum atas kebesaran Allah. Seandainya aku tidak pernah gagal menjalani tes masuk di perusahaan-perusahaan sebelumnya, mungkin aku tidak akan pernah bekerja di perusahaan yang sekarang. Mungkin aku tidak akan pernah menjadi satu-satunya karyawan perempuan di departemen yang semuanya laki-laki. Mungkin tidak akan pernah ada perasaan “Aku-merasa-telanjang”. Mungkin aku tidak akan pernah menerima undangan malam natal. Mungkin hingga saat ini aku belum berhijab.
Rupanya sejarah hidupku adalah sebuah mata rantai, sebuah sebab akibat, sebuah master plan yang sudah Allah persiapkan untuk menggerakkan dan memantapkan hati untuk mengenakan jilbab.
Maha suci Allah. Betapa besarnya rasa cinta Allah terhadapku. Padahal seandainya Allah berkehendak, Dia bisa saja membiarkan aku tetap seperti dulu.
Maha suci Allah. Berkat cintaNya, selembar kain segi empat yang menutupi rambut, leher dan membingkai wajahku kini telah membebaskanku.

Epilog
Undangan natal itu adalah undangan yang pertama dan terakhir yang pernah aku terima. Di tahun-tahun berikutnya, aku tidak pernah lagi menerima undangan acara natal. Mungkin acara natal malam itu memang dipersiapkan sebagai pemantik sumbu kemantapan hati untuk berhijab. Wallahu ‘alam.

Allah Maha Besar
Thank you to let me born as a moslem

Ditulis untuk lomba menulis #Myhijabstory, Merdeka dengan Hijab

Kamis, 11 April 2013

Ibu dan Taekwondo



Jasmine melirik jam tangannya dengan gelisah. Ia merasa saat ini waktu berjalan sangat lambat, demikian juga travel yang sedang ditumpanginya dari Malang menuju kota kelahirannya, Surabaya. Sebenarnya Jasmine tidak suka naik travel. Tapi kali ini dia harus, sebab dia tidak ingin benda yang semenjak tadi didekapnya seperti mendekap bayi baru lahir, rusak karena tergencet kepadatan penumpang bis ekonomi.
Benda itu terbuat dari akrilik berwarna bening dan berbentuk figur manusia yang sedang menendang. Satu kakinya terangkat sedemikian hingga dengan kaki satunya lagi membentuk sudut nyaris 180 derajat. Itu trofi kejuaraan taekwondo yang baru saja dimenangkannya.
Bagi Jasmine, trofi itu bukan sekedar trofi biasa. Walaupun di bagian kaki patung tertulis; Juara I Kejuaraan Wilayah Taekwondo, namun sebenarnya trofi itu adalah alat bantu untuk sebuah hal yang ingin ia buktikan pada Ibunya.
Sejak dulu Ibu menentang keinginannya ikut bela diri. Ibu selalu bilang, anak perempuan tidak cocok main silat-silatan. Akhirnya saat kelas 1 SD, Ibu memasukkannya ke sanggar ballet karena tidak tahan terus-terusan mendengar rengekan Jasmine yang ingin ikut bela diri. Memang tidak sama, tapi  setidaknya bellet bisa membuat Jasmine berhenti merengek dan melupakan keinginannya berlatih bela diri.
Jasmine menekuni ballet secara konsisten hingga lulus SMA. Setelah lulus, Jasmine terpaksa berpamitan dengan pelatih balletnya. Dia harus pindah ke Malang, menempuh studi di Universitas Brawijaya.
Beberapa bulan tidak berlatih ballet, tubuh Jasmine berontak. Tubuh yang sepuluh tahun lebih ditempa di studio ballet itu sering terasa pegal, otot-otot dan persendiannya kaku. Jasmine tahu dia harus segera menemukan tempat untuk berlatih olah tubuh lagi.
Pucuk dicinta ulam tiba, hari ini ada demo UKM-UKM Unibra. Ini adalah hajatan tahunan UKM Unibra seusai hingar bingar penerimaan mahasiswa baru. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menarik bibit-bibit baru dari mahasiswa tingkat satu.
Mata Jasmine berbinar manakala aksi UKM bela diri dimulai. Karate, Pencak Silat, Judo, semuanya menarik. Saat itulah ia ingat bahwa bela diri adalah hal yang diinginkannya sejak dia masih makan disuapi. Tapi Jasmine belum memutuskan mau memilih yang mana. Tibalah saat UKM Taekwondo beraksi. Mereka memainkan aksi memecahkan papan kayu dengan tumit kaki. Kelak Jasmine akan tahu bahwa gerakan itu dinamakan kyukpa.
Setelah kyukpa, seorang mahasiswa senior berpakaian putih dan bersabuk merah maju ke tengah, memeragakan gerakan-gerakan Taekwondo seorang diri. Dia menendang, menangkis, menyabet, seolah di hadapannya ada lawan imajiner. Gerakannya bertenaga, namun lentur, mengalir seperti orang menari. Jasmine benar-benar terpukau. Menurutnya gerakan itu sungguh indah, sama dengan saat dia melihat ballet, tapi yang ini tanpa iringan musik klasik.
Gerakan-gerakan itu, yang disebut poomsae, di mata Jasmine membuat pelakunya seolah bergerak secara harmoni dengan alam di sekitarnya. Jasmine seakan melihat aliran udara di sekitar anggota tubuh sang senior. Poomsae membuat mata Jasmine memfantasikan tempat itu bukan lagi plaza sebuah universitas, melainkan sebuah padang rumput dengan latar belakang pepohonan hijau. Detik itu juga, Jasmine memutuskan untuk bergabung dengan UKM Taekwondo.
Tapi Ibu keberatan, saat Jasmine menelfon mengabarkan telah bergabung dengan UKM Taekwondo. “Kenapa harus bela diri? Lainnya kan bisa, kamu kan bisa pilih UKM Basket atau Volley atau apalah, yang penting bukan silat-silatan”, begitu komentar Ibu.
“Ini Taekwondo Bu, bukan silat”
“Sama saja. Perempuan nggak cocok main silat, Jas”, entah kenapa Ibu seakan menghindar menyebut kata Taekwondo. Jasmine menghela napas, “Senior perempuan yang ikut Taekwondo banyak kok Bu, mereka hebat-hebat lho”.
Merasa alibi gendernya sudah runtuh, Ibu mengganti alasannya. “Olahraga silat itu berbahaya. Kamu bisa luka nanti”
Dengan sabar, Jasmine berusaha menjelaskan; “Ibu masih ingat kan waktu kaki Jasmine keseleo gara-gara latihan ballet? Jasmine bisa cedera kapan saja. Mau olahraga lainnya, basket, renang, volley juga sama aja resikonya. Namanya juga gerak tubuh. Tidur aja beresiko, apalagi olah raga”
“Iya Jas, tapi bela diri resikonya lebih tinggi. Gimana kalau gigi kamu rontok kena tendangan? Atau dada kamu memar kena pukulan?”
“Tenang aja Bu, kami kan pakai gum protector kok, terus juga pake baju pelindung. Ayolah Bu, ngga usah paranoid gitu. Jasmine kan niatnya olah raga, ini badan Jasmine kaku semua karena udah lama ngga latihan ballet”, Jasmine merajuk, tapi Ibu tetap tak bergeming.
“Kamu nggak akan bisa menguasai ilmu silat Jas, kamu ngga berbakat. Bakat kamu itu menari. Sudahlah nggak usah aneh-aneh. Pokoknya Ibu ngga setuju kamu ikut-ikutan bela diri. Sekarang juga kamu batalkan pendaftaran kamu di UKM silat itu”, titah Ibu.
“Kita lihat saja nanti Bu”, jawab Jasmine lalu menutup gagang telfon sambil menghela nafas panjang. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa Ibu sedemikian benci dengan Taekwondo sampai-sampai menyebut kata “Taekwondo” saja Ibu tidak mau.  
Tadinya Jasmine ingin bercerita bahwa ada suatu perasaan aneh manakala melihat aksi senior Taekwondonya tadi. Perasaan yang tidak muncul saat melihat aksi UKM-UKM bela diri lainnya. Senior yang memeragakan poomsae seakan menjadi pusat sebuah pusaran yang semakin membesar dan menelan Jasmine bulat-bulat ke dalamnya, tanpa ia sempat mengelak. Tapi kegusaran Ibu membuatnya urung bercerita.
Kali ini Jasmine memilih untuk tidak menurut. Alih-alih membatalkan pendaftaran, dia tetap datang ke Dojang dan untuk pertama kalinya mengenakan Dobok. Rasanya aneh, karena biasanya dia menggunakan pakaian ketat menempel kulit saat latihan ballet.
Seminggu dua kali, Jasmine berlatih tendangan, pukulan, sabetan dan sikap kuda-kuda. Tubuh Jasmine yang sudah bertahun-tahun ditempa di studio ballet sama sekali tidak kesulitan menerima pelajaran-pelajaran dasar Taekwondo. Kaki dan tangannya yang lentur membuat tubuhnya mudah merekam dan mempraktekkan aneka gerakan Taekwondo. Keahliannya melakukan grand jete (lompatan besar hingga kaki membentuk posisi split di udara) saat ballet membuat gerakan sulit seperti twio ap chagi (menendang sambil melompat) menjadi sangat mudah. Sabeum nim akhirnya kerap merekomendasikannya untuk ikut ujian kenaikan tingkat tiap kali ujian diadakan. Di tahun kedua, Jasmine sudah menyandang sabuk biru strip merah dan terpilih sebagai peserta kejuaraan wilayah.
Untuk menghadapi kejuaraan, Jasmine dan sembilan rekan lainnya mengikuti Training Center. Porsi latihan ditambah berlipat-lipat. Jam latihannya pun di luar jam tubuh manusia normal. Mereka berlatih tiap hari di malam hari hingga tengah malam. Tapi Jasmine sama sekali tidak merasakan berat, walau paginya harus menghadiri kuliah. Kecintaannya akan Taekwondo membuatnya addict untuk terus datang ke Dojang, yang sayangnya tanpa sepengetahuan Ibu.
Hari kejuaraan akhirnya tiba dan suatu hal tidak terduga terjadi, Jasmine demam panggung. Sesaat sebelum dia tampil untuk pertandingan kyorugi, Jasmine dilanda ketakutan yang teramat sangat. Kata-kata Ibu saat awal dulu dia mendaftar terngiang kembali; “Kamu tidak berbakat. Kamu bisa terluka”.
“Bagaimana jika aku memang tidak berbakat? Bagaimana jika penampilanku nanti memalukan? Bagaimana jika aku nanti cedera?”, aneka pikiran buruk berkecamuk. Jasmine ketakutan dan ingin lari. Sabeum nim melihat hal itu. “Kenapa Jas?”, tanyanya.
“Maaf Sabeum Nim, saya tidak bisa bertanding”, kata Jasmine dengan muka pucat dan badan gemetar. Butir-butir keringat dingin di dahinya bermunculan. Sabeum nim tidak menjawab dengan kata-kata, hanya tangannya yang bicara. “Plak!”, Sabeum nim menampar pipi Jasmine tanpa ekspresi. Tidak terlihat tanda kemarahan atau kekecewaan atas sikap anak didiknya. Jasmine terpana, tapi perlahan kesadarannya kembali.
 “Berlatih Taekwondo bukan untuk menghilangkan rasa takut tapi untuk mengendalikannya. Rasa takut adalah karunia, jaga itu untuk menjaga agar kamu tetap rendah hati sekaligus membuatmu menunjukkan hasil latihanmu yang terbaik selama ini. Tidak hanya kamu, semua yang ada di arena ini pun takut. Bahkan semua makhluk hidup punya ketakutannya masing-masing. Kamu hanya punya dua pilihan; lari atau hadapi. Taekwondo tidak mengajarkan untuk mengalahkan lawan di arena pertarungan, melainkan ini, di sini, lawan paling berat sepanjang hayat”, Sabeum nim menunjuk dadanya sendiri.
Jasmine tersadar. Sabeum nim benar. Selama ini dia berlatih Taekwondo bukan untuk jadi jagoan. Bukan juga untuk me-knock out lawan di arena atau mencari poin sebanyak-banyaknya. Taekwondo mengajarkannya untuk mengendalikan musuh paling berat yang selalu bersemayam dalam dirinya; keraguan, ketakutan, ketidakpercayadirian. Dia bertanding di arena ini bukan untuk mengalahkan siapapun melainkan dirinya sendiri.
Jasmine melangkah ke tengah arena dengan mantap usai berterima kasih pada Sabeum nim.
###
 Sekarang Jasmine tidak sabar ingin pulang dan menunjukkan trofinya pada Ibu sebagai bukti bahwa dia bisa. Dia bukan seperti yang dibilang Ibu, hanya bisa bidang tari menari. Jasmine ingin Ibu memberikan ijin penuh atas aktivitasnya di Dojang. Akhirnya travel berhenti di depan rumah. Jasmine melompat keluar travel dan terburu-buru membuka pagar.
Tapi yang dihadapi Jasmine sungguh di luar dugaan. Ibu murka dan membanting trofi itu hingga sang figur patah jadi tiga. Trofi itu remuk bersamaan dengan remuknya hati Jasmine. Jasmine ternganga dan menatap ibunya tak mengerti.
“Kenapa kamu tidak menuruti kata-kata Ibu? Kenapa kamu masih main silat-silatan? Kamu benar-benar mengecewakan”. Kata-kata ibu bagaikan sembilu yang menyayat hatinya. Lebih sakit daripada saat melihat trofi yang telah dimenangkannya melalui perjuangan panjang itu pecah.
Jasmine marah, kecewa, tidak mengerti. Namun seluruh emosinya hanya bisa dia keluarkan melalui dua bulir air mata yang jatuh membasahi pipinya. Dengan gontai dia melangkah keluar rumah tanpa mempedulikan pecahan trofi yang bertebaran di lantai.
Jasmine mendatangi rumah Eyang. Wanita sepuh yang juga Ibu dari Ibunya itu dengan sabar mendengarkan cerita Jasmine yang bercampur dengan isak tangis. “Memangnya Jasmine salah apa Eyang?”, tanya Jasmine di setelah tangisnya mereda. Eyang menghela napas; “Mungkin kamu sudah saatnya tahu Nduk”.
Eyang masuk kamar dan tak lama keluar sambil membawa sebuah amplop coklat berukuran A4. Jasmine mengeluarkan isi amplop itu. Beberapa lembar foto yang warnanya sudah memburam. Itu adalah foto beberapa orang yang mengenakan Dobok dan medali di lehernya. Jasmine mengenali dua di antaranya. Walaupun usia foto itu setidaknya sudah lebih dari 2 dekade, Jasmine tidak mungkin salah mengenali tahi lalat di sudut mata kiri Ibunya. Dia juga tidak mungkin salah mengenali yang seorang lagi; Ayah, sekalipun Jasmine hanya tahu wajah Ayah dari foto-foto lama di rumah Ibu. Jasmine tahu dari bentuk hidung Ayah yang terlalu mancung untuk ukuran orang Jawa. “Jadi Ayah dan Ibu dulu Taekwondoin?, tapi mengapa Ibu benci dengan Taekwondo?”.
Kliping koran lama di bagian belakang foto menjawab segalanya. “Kecelakaan Bis Merenggut Nyawa Atlet Taekwondo”, demikian judul berita di koran itu. Berita itu tertanggal beberapa bulan setelah Jasmine lahir. “Itu saat Ayahmu akan berangkat ke Pelatnas”, kata Eyang seolah menjawab tanya cucunya yang tak terucap.
Jasmine tidak memindahkan pandangan matanya dari potongan koran yang lusuh itu. Ibu memang bilang bahwa Ayah meninggal karena kecelakaan semenjak dia masih bayi. Potongan koran itu telah menjawab semuanya, perasaan aneh saat melihat poomsae pertama kali, serta kebencian Ibu terhadap olah raga bela diri asal Korea itu.
Masa lalu yang tak pernah diduga secara tiba-tiba muncul seperti melihat potongan film lama. Fragmen-fragmen kehidupannya di Dojang selama 2 tahun terakhir datang silih berganti dengan bayangan Ayah dan Ibu.
Dojang sudah menjadi rumahnya, Sabeum nim telah menjadi Ayahnya, rekan-rekannya sudah menjadi kakak dan adik yang selama ini tidak pernah dia miliki. Tapi sejurus kemudian dia ingat Ibu yang bertahan untuk tidak menikah lagi dan berusaha menghapus kata Taekwondo dari koleksi perbendaharaan katanya.
Jasmine teringat Dobok dan Hugonya, latihan-latihannya dan kebersamaan yang hangat di Dojang bersama Sabeum nim dan teman-temannya. Namun lagi-lagi Jasmine teringat mata pilu Ibu yang terbungkus amarah saat membanting trofinya. Sampai  di sini Jasmine tak sanggup lagi.
Dia telah mencintai Taekwondo sejak 2 tahun lalu. Tapi Ibunya telah mencintainya sejak 20 tahun yang lalu. Diraihnya ponsel dan mengirimkan sebuah pesan singkat. Jasmine menghela napas dengan susah payah kemudian mematikan ponselnya. Malam itu Jasmine tidur sambil membayangkan Dojang dan Ibu.
Keesokan paginya, Jasmine kembali ke rumah Ibu untuk berpamitan hendak kembali ke Malang, sekaligus mengabarkan bahwa dia sudah memutuskan untuk tidak akan datang ke Dojang lagi.
Ibu sudah menunggu dengan ekspresi cemas. “Ibu berusaha menghubungi ponselmu, tapi sepertinya kamu matikan”.
“Jasmine sudah tahu semuanya. Maafkan Jasmine ya Bu. Jasmine sudah bilang ke Sabeum nim kalau akan berhenti Taekwondo”, kata Jasmine tanpa ekspresi.
Sabeum nim barusan telfon Ibu. Dia juga berusaha menghubungi ponselmu tapi tidak bisa. Dia minta tolong Ibu untuk membujuk kamu agar tidak berhenti Taekwondo. Kamu terpilih untuk ikut seleksi Kejurda”, kata Ibu. Jasmine terpana. Lebih terpana lagi manakala Ibu menunjukkan trofinya yang sudah kembali utuh.
“Maafkan Ibu, mungkin tidak bisa kembali seperti dulu, tapi setidaknya bagian yang patah sudah bisa tersambung lagi. Maafkan juga atas keegeoisan Ibu. Ibu lupa bahwa dalam pembuluh darahmu mengalir darah taekwondoin. Sebesar apapun keinginan Ibu untuk menghalangimu ikut Taekwondo, Ibu tidak akan pernah bisa melawan kenyataan bahwa darah memang lebih kental daripada air. Ibu tidak mau Ayah memarahi Ibu kelak di akhirat karena menghalangi cita-citanya untuk mengharumkan Indonesia lewat Taekwondo, putus hanya gara-gara Ibu tidak mengijinkan kamu ke Dojang. Kamu mau memaafkan Ibu kan? Kamu mau berlatih Taekwondo lagi kan?”.
Tenggorokan Jasmine tercekat. Dia menghambur ke pelukan ibunya sambil tersedu-sedu.
Setelah reda tangisnya, Jasmine menyalakan ponsel dan menghubungi seseorang; “Sabeum nim, besok malam saya akan datang ke Dojang”. Perasaannya lega luar biasa.

(ditulis untuk Lomba Taekwondoin Menulis)

Special thanks to: "Didit" Nur Hidayat, ex Taekwondoin Unibra yang rendah hati :) 

Catatan: 
Cerpen ini akan diterbitkan dalam buku Antalogi Taekwondoin Menulis Part 1, sekaligus menjadi cerpen terbaik dari 14 naskah yang akan dibukukan.
Cerpen ini adalah cerpen pertama yang diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen. 
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)