Rabu, 30 Januari 2013

Memahami Arti Sebuah Lembaga Bernama Sekolah


Seperti sebuah kebetulan, saya membaca “Totto Chan – Gadis Cilik di Jendela” dan “Indonesia Mengajar” berbarengan dengan saatnya Abril masuk SD. Membaca kedua buku tersebut kian memantapkan niat saya untuk mengirim putri pertama kami itu ke Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS). Nah terus apa hubungannya ya? Totto Chan - Indonesia Mengajar - SAIMS.

Totto Chan adalah sebuah kisah nyata yang dituliskan oleh Totto Chan sendiri (Tetsuko Kuroyanagi) dalam rangka mengenang masa-masa pendidikan dasarnya dulu. Totto Chan yang dianggap nakal di sekolah karena rasa ingin tahunya yang sangat besar, akhirnya dikeluarkan. Kalau dipikir-pikir, mungkin keluarnya Totto Chan dari sekolah justru sebuah anugerah, karena Mama kemudian membawa Totto Chan ke Tomoe Gakuen.
Tomoe adalah sebuah sekolah yang dikepalai oleh Sosaku Kobayashi, orang yang sangat dikagumi oleh Totto Chan. Tomoe adalah sekolah yang unik. Keunikannya bisa langsung terlihat dari ruangan kelasnya yang menggunakan gerbong kereta. Cara belajarnya pun tidak kalah unik; para murid bebas mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar menggambar, ada yang fisika, ada yang bahasa dulu. Karena sekolah dan kepala sekolahnya yang unik, maka Totto Chan sangat kerasan.
Di sekolah ini, Totto Chan tidak pernah dianggap nakal. Sekalipun ia harus membuat Pak Kepala Sekolah mendengarkan ocehannya selama 4 jam saat perkenalan pertama mereka. Bahkan saat ia jatuh ke lubang penampung kotoran, atau pun saat ia menciduki isi lubang kakus saat mencari dompetnya (yang ini memang agak menjijikkan), Totto Chan dibiarkan saja agar ia belajar arti tanggung jawab.
Pak Kepala Sekolah memiliki dedikasi dan cinta yang luar biasa terhadap pendidikan dan anak-anak. Dengan caranya, dia membuat anak-anak yang mempunyai keterbatasan menjadi anak yang penuh percaya diri. Lihat saja saat dia mendesain sebuah hari olah raga yang memperlombakan kompetisi yang unik agar Takahashi, murid yang bertangan dan berkaki pendek, bisa memenangkan hampir semua lomba dan membuatnya lebih percaya diri.
Buku ini seakan mengingatkan saya bahwa anak yang nakal itu sebenarnya tidak ada. Nakal sebenarnya adalah cap yang diberikan oleh orang dewasa karena anak-anak tidak mengikuti aturan. Aturan yang dibuat oleh orang dewasa. Padahal anak-anak dengan caranya yang unik, punya cara sendiri untuk memandang dunia.
Menurut Bapak Mohamad Molik (pendiri Nurul Hayat sekaligus pembicara tunggal saat training Hypnoparenting yang pernah saya ikuti) segala cap yang ditempelkan pada anak-anak, yang baik atau yang buruk, akan dengan gampang menempel pada alam bawah sadarnya. Bagaikan software yang terinstall di komputer, anak akan berpikir dan bertindak sesuai program yang telah terpasang. Nakal, rajin, malas, rajin, bodoh, pintar, cengeng, lincah dan lain-lain. Dan software ini, jika dibiarkan saja, kelak akan benar-benar membentuk karakter anak saat ia dewasa.
Kekhawatiran akan terjadi kesalahan install program di otak Abril, adalah alasan utama mengapa saya memilih Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya.
Abril, menurut saya, adalah anak dengan potensi kinestetik yang luar biasa. Saya terpaksa memasukkannya ke play group sejak usia 2 tahun karena saya sudah mati gaya. Saya tidak sanggup mengimbangi energinya yang “berlebihan”. Abril seperti tidak mengenal kata capek dan saya kesulitan membantunya menyalurkan energinya itu ke arah yang lebih efektif. Bahkan hingga menginjak TK B, Abril tidak berubah. Ia masih senang berlari-lari, melompat-lompat, berguling-guling, menjatuhkan diri atau menabrakkan tubuhnya ke pagar, tembok atau ke badan kami. Abril sangat jarang tidur siang, tidur malam pun kalau tidak dipaksa tidak mau tidur dan terkadang di pagi buta saat saya menulis seperti ini, dia juga sudah ikut bangun. Hal yang membuatnya agak tenang adalah; menggambar atau mewarnai.
Melihat Abril yang seperti itu, terbetik kekhawatiran dalam benak saya jika dia nantinya bersekolah di SD negeri. Bukan mau mengatakan bahwa SD negeri itu buruk. Bukan. Saya dan suami pun produk sekolah negeri dari SD sampai PT. Namun setelah saya panggil memori saya saat mengenyam bangku SD dulu, saya mengurungkan niat untuk mendaftarkan Abril ke SD negeri. Alasan yang pertama; saya takut dia dianggap NAKAL seperti halnya Totto Chan yang dianggap tidak patuh hanya karena besarnya rasa ingin tahu. Alasan kedua, saya khawatir Abril tidak bisa menjalani masa belajar yang menyenangkan jika harus duduk seharian di bangku dengan metode pendidikan yang cenderung satu arah.
Naluri saya akhirnya membawa saya ke Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya saat Abril masih TK B. Saya sengaja mengambil cuti untuk bertanya ini itu langsung ke sekolah tersebut. Sayang saat itu sedang libur sekolah, jadi saya tidak bisa melihat langsung kegiatan belajarnya seperti apa. Singkat cerita, setelah berkunjung ke SAIMS, semakin mantap lah hati saya untuk menyekolahkan Abril di sana, di tambah dengan mengetahui biaya sekolah yang masih terjangkau oleh kondisi keuangan kami. Berikut ini alasan mengapa saya memilih SAIMS (berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru di sana);
  1. Tidak ada tes calistung (baca tulis berhitung) untuk diterima di SAIMS.
SAIMS menganggap anak seharusnya dididik sesuai dengan umurnya. Baca dan tulis baru diajarkan di kelas 1 SD. Sehingga untuk diterima menjadi siswa SD, anak tidak dites kemampuan baca tulisnya.
Belakangan baru saya tahu, tes masuknya adalah berupa observasi melalui gambar, wawancara dan beberapa aktivitas seperti meronce atau menyusun balok dalam suasana yang santai (tidak seperti sedang di tes).
Belakangan juga baru saya tahu, bahwa kami (orang tua calon murid) juga diobservasi melalui (tes) gambar. Mengapa begitu? Sejauh ini saya hanya menduga-duga saja mengapa demikian.

  1. Lokasi belajar tidak hanya di kelas, bisa berpindah-pindah di taman, gazebo atau masjid.
Saya pikir ini cocok untuk Abril yang mudah bosan jika berada di satu tempat dalam waktu lama.

  1. Metode balajarnya tematis.
Yang ini saya belum bisa cerita dengan jelas karena Abril baru akan sekolah di sana tahun ajaran baru nanti. Menurut informasi, anak-anak tidak belajar sesuai dengan kurikulum, melainkan melalui tema-tema yang pembelajarannya disusun secara integrasi.
Misalnya tema pasar di mana di sana anak-anak akan belajar matematika dengan menentukan uang kembalian. Tema pantai di mana anak-anak akan belajar tentang ekosistem. Kurang lebih seperti itulah.
Saya sempat bertanya bagaimana mereka nantinya menghadapi UNAS jika cara belajarnya tematis. Bukankah UNAS memakai metode “mata pelajaran”? Ternyata, anak-anak akan mulai masuk ke mata pelajaran sekitar kelas 5 (atau kelas 4 ya, saya lupa).

  1. Tidak ada rapot kuantitatif.
Ini juga masih harus saya buktikan. SAIMS tidak memberikan rapot angka melainkan rapot kualitatif. (Namun jika diperlukan misalnya untuk keperluan pindah sekolah, mereka bisa membuatkan).
Saya berpikir mungkin SAIMS menganggap setiap anak adalah istimewa dengan caranya masing-masing. Memberikan rapot kualitatif akan membantu anak menemukan keistimewaan dalam dirinya dan lantas mengasahnya menjadi sebuah keahlian yang kelak bisa menjadi bekal untuk hidup mandiri.
Tidak seperti kebanyakan orang tua, terus terang saya tidak terlalu berharap menjadi juara kelas adalah tujuan utama.

Beberapa orang mungkin menganggap mengirimkan anak kami ke sekolah swasta adalah hal yang lebay. Mengapa jauh-jauh menyekolahkan anak ke sana dengan biaya ekstra pula, toh sekolah negeri sekarang juga bagus-bagus.
Itu tidak saya pungkiri memang. Seperti yang sudah saya bilang, kami pun tadinya berniat untuk mendaftarkan Abril di sekolah dasar tempat saya, suami dan saudara-saudara kami sekolah. Sampai-sampai kami pindah rumah ke lokasi yang lebih dekat dengan sekolah tersebut.
Tapi kami sadar bahwa dengan keterbatasan waktu saya dan suami yang sama-sama bekerja, ada kebutuhan dasar anak-anak yang kami takut tidak sanggup penuhi, yakni masalah agama. SAIMS adalah sekolah Islam. Dalam hal mengajarkan syariat, akhlak dan akidah, kami mungkin hanya mampu memberikan contoh-contoh saja di rumah, seperti sholat tepat waktu, berwudhu dan mengaji. Tapi dengan sedikitnya waktu pertemuan dengan anak-anak, saya rasa kami butuh pihak ketiga untuk mengajarkan itu semua pada anak-anak. Setidaknya dalam tataran teori dan praktek.
Saya dengar (baru dengar saja, belum dibuktikan), anak-anak dibiasakan untuk sholat Dhuha dan mengaji tiap pagi sebelum memulai pelajaran. Subhanallah semoga memang demikian. Dengan demikian, harapannya kami di rumah akan jauh lebih mudah untuk mengajak anak-anak sholat dan mempelajari Alquran.
Belajar di SAIMS dengan biaya yang sedikit lebih banyak ketimbang sekolah negeri, terus terang membuat saya punya pengharapan lebih. Tidak hanya berharap anak-anak kami menjadi anak-anak yang berakhlak dan berilmu, namun juga kelak mereka bisa mandiri dengan menjalani kehidupan yang sesuai dengan passion mereka masing-masing. Saya harap, sekolah ini bisa membantu anak-anak menemukan apa panggilan hati mereka. Apapun itu.
Foto diambil dari https://indonesiamengajar.org/
Bicara tentang passion, saya jadi teringat dengan buku Indonesia Mengajar. Buku yang mengisahkan pengalaman anak-anak muda Indonesia yang luar biasa ini memberikan inspirasi yang luar biasa.
Saya mengikuti satu demi satu kisah Pengajar Muda yang dikirim ke pelosok Nusantara. Dan jika saya disuruh merangkum keseluruhan cerita mereka, saya bisa menggambarkannya dengan satu kata: passion. Mereka adalah orang-orang muda yang berani mengikuti passion. Passion untuk berbagi, untuk mendidik sekaligus belajar hal-hal yang baru. Mereka berani mengambil keputusan untuk meninggalkan tidak hanya keluarga, tapi juga gemerlapnya kota dan kesempatan untuk merintis karir, demi mengajar anak-anak SD di desa terpencil di Nusantara, selama 1 tahun.
Sekalipun mungkin tidak se-spektakuler Pengajar Muda, saya berharap anak-anak kami kelak seperti mereka. Berani mengikuti passion. Apapun hati mereka memanggil nantinya. Tentunya tetap di koridor yang dibenarkan agama. Karena saya percaya, tiap-tiap manusia yang dilahirkan punya tugas dan misi masing-masing selama hidup.
Setidaknya bersekolah di Sekolah Alam Insan Mulia bisa menjadi titik awal pencarian anak-anak menemukan passionnya. Semoga ini bukan harapan yang terlalu muluk.

Karena tidak ada yang lebih membahagiakan selain menjalani hidup sesuai dengan panggilan hati.

Catatan: Oiya, saat mengisi formulir pendaftaran masuk SAIMS, kami tidak perlu mengisi berapa penghasilan orang tua. Entah mengapa hal ini membuat saya senang ^-^

Rabu, 09 Januari 2013

Rumah di Tepi Danau


Lana dan Robi. Robi dan Lana. Semenjak kecil, mereka sudah tak terpisahkan. Setelah remaja, mereka jatuh cinta. Ketika dewasa, mereka menikah. Tak ada yang heran. Tak ada yang menentang. Lana dan Robi seakan sudah ditakdirkan untuk hidup bersama sejak lahir.
Robi lahir sebagai bayi yang sehat dan berparas rupawan. Kulitnya sedikit gelap dan berambut ikal. Dia tumbuh menjadi balita yang sehat dan pemuda yang gagah. 
Sementara Lana yang lahir di hari berikutnya tidak seberuntung Robi. Komplikasi kehamilan yang masih belum bisa dijelaskan melalui ilmu kedokteran kala itu telah merenggut nyawa ibu Lana. Karena tidak bisa menikmati air susu ibu, tubuh Lana mudah sakit. Tapi Lana cantik. Rambutnya tebal dan panjang. Kulitnya pucat karena hampir tidak pernah tersentuh matahari.
Di bawah asuhan ayahnya, Lana tumbuh menjadi gadis yang pendiam dan lemah lembut. Dia tidak banyak bermain-main di luar seperti Robi. Waktunya banyak dihabiskan untuk belajar merajut.
Sejak kecil Robi sering mengunjungi rumah Lana. Kadangkala Robi membawakan kecebong, kupu-kupu, bunga terompet dan ikan yang ditangkapnya dari danau.
Lana ingin melihat danau tapi ayah tidak pernah mengijinkan karena takut Lana sakit. Walau begitu, melalui cerita Robi, Lana bisa membayang seperti apa indahnya danau. Pepohonan hijau, padang rumput dan bunga-bunga wangi bermekaran, air danau yang jernih hingga bisa dipakai bercermin dan jika hujan, akan ada pelangi yang meliuk indah di atas telaga.
Keakraban masa kecil menjadi kisah percintaan yang sudah diduga banyak orang. Lana dan Robi akhirnya menikah.
Robi membangun rumah mungil untuk mereka berdua di tepi danau. Rumah sederhana berdinding dan beratap kayu. Bagi Lana, rumah itu seperti rumah yang keluar dari impian masa kanak-kanaknya. Pemandangan yang bisa dia lihat begitu keluar di beranda adalah pemandangan yang tidak pernah diihatnya dari kecil. Ayah tidak pernah sekali pun mengajak Lana mengunjungi telaga, walau hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah mereka. Ayah, seperti kebanyakan pria di kampung mereka, menenggelamkan diri dalam kesibukan mengurus kebun-kebun sayur mereka. Lana tahu, ayah melakukannya karena berusaha mengusir kesepiannya karena ibu tidak ada.
Lana sangat bahagia menjadi istri Robi. Tiap hari, Lana menyiapkan masakan untuk suaminya. Setiap Robi datang sepulang kerja, dia akan mendapati meja mungil mereka telah ditata dengan rapi. Dua buah piring yang tertelungkup di atas alas piring hasil rajutan tangan Lana. Dua buah gelas porselen hadiah perkawinan dari seorang kerabat berdiri anggun di sudut kanan atas dari alas piring. Sendok dan garpu berdampingan rapi di sebelah kiri.  Lana selalu menata meja makan mungilnya seperti itu. Tidak pernah berubah.
Lana juga seakan tahu kapan Robi akan pulang. Itu sebabnya, tiap kali Robi membuka pintu rumahnya, dia akan mendapati nasi dan masakan yang masih terlihat kepulan hangatnya. Juga istrinya yang dengan setia menunggunya di satu sisi meja sambil merajut. Itu adalah pemandangan yang tiap hari dilihat oleh Robi.
Tak ada satu kata yang bisa melukiskan kebahagiaan mereka. Namun rupanya itu tidak lama. Perang pecah dan Robi dipanggil ke medan perang. Robi harus meninggalkan Lana. Yang dia khawatirkan adalah siapa nanti yang menjaga Lana. Robi menawarkan agar Lana tinggal sementara waktu di rumah orang tuanya.
“Tidak apa sayang, jangan khawatirkan aku. Lebih baik aku di sini. Menunggumu sampai kau pulang. Lagipula, Nyonya Rosa tiap minggu akan datang kemari mengambil rajutanku”, ujar Lana dengan mantap. Nyonya Rosa adalah salah satu penduduk kampung yang membantu menjualkan hasil rajutan Lana. Beliau pulalah yang membawakan benang serta keperluan Lana lainnya.
“Tapi aku akan lebih tenang kalau kau tinggal bersama Ibu. Lagipula, bagimana jika aku tidak akan kembali? Bagaimana jika aku tewas di medan pertempuran?”, mata Robi menatap istrinya dengan gundah.
Lana menempelkan telunjuknya di bibir Robi. “Apapun yang terjadi, aku akan menunggumu, seperti biasa di meja makan itu”. Ekor matanya menatap meja makan tempat mereka menghabiskan waktu bersama sambil menunggu malam.
Robi tahu tidak ada gunanya mendesak Lana.  Dengan berat hati, ia pergi ke medan perang, membela negaranya, sambil terus berharap untuk bisa bertemu lagi dengan Lana. Harapannya terkabul. Perang usai dan Robi adalah salah satu prajurit yang selamat. Malam ini, Robi dan teman-temannya yang juga selamat akan pulang ke kampung masing-masing.
Namun rupanya, nasib menentukan lain. Truk yang ditumpangi Robi dan kawan-kawannya jatuh ke jurang di sepanjang perjalanan menuju rumah mereka. Sepertinya tidak ada yang selamat.
Di kampung Lana, berita selesainya perang sudah terdengar. Lana bersuka cita seperti halnya perempuan-perempuan lain yang sama-sama ditinggal suami atau kerabatnya. Tapi Lana tidak tahu kapan Robi akan pulang.
“Robi bisa pulang kapan saja”, pikirnya. Oleh sebab itu, dia mulai menata meja makan lagi. Agar jika Robi pulang, dia akan melihat pemandangan yang sama seperti dulu. Dua piring tertelungkup, alas makan rajutan, dua gelas porselen dan sepasang sendok garpu.  Tiap malam, Lana juga duduk menanti sambil merajut di kursi meja makannya. Terkadang ia menunggu Robi sampai tertidur.
Tapi Robi tidak kunjung pulang. Para pemuda dan pria lain yang selamat telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tapi Robi tidak. Hingga hari berganti minggu dan minggu berganti bulan.
“Sudahlah Lana, mungkin Robi sudah tewas. Kau ikhlaskan saja dia ya”, ujar Nyonya Rosa saat mengambil rajutan Lana, “Ini sudah hampir 2 tahun sejak perang usai, semua lelaki yang masih selamat dari perang sudah pulang dan kembali mengurus ladang”, lanjutnya.
“Aku akan tetap menunggunya Bu, suamiku masih hidup”, dia berkata dengan yakin, namun air mata mengambang di sudut mata Lana.
“Kalau dia masih hidup, seharusnya di sudah pulang kan? Sudahlah Nak, jangan kau menyiksa dirimu dengan menyiapkan meja makan seolah suamimu benar-benar akan pulang. Itu hanya akan membuatmu sedih”, kata Nyonya Rosa sambil mengusap air mata Lana.
Lana tahu Nyonya Rosa tidak bermaksud jahat. Dia hanya kasihan melihatnya terus menanti Robi dengan penuh harap, sekalipun mungkin Robi sudah mati.
Mati? Tidak, Robi masih hidup dan Lana bisa merasakan itu. Hanya saja, ada sesuatu yang telah menghalangi Robi untuk kembali ke padanya. Lana yakin itu dan dia bertekad untuk terus menunggu. Suatu hari nanti Robi akan kembali.
Hingga akhir tahun ke-3 setelah usai perang, Robi belum juga kembali, namun Lana masih terus menata meja makan seolah-olah suaminya akan pulang.
Memasuki pertengahan tahun ke-4, Robi pulang. Selama ini Lana benar, dia memang tidak tewas. Hanya saja, kecelakaan mobil tersebut telah merenggut seluruh kenangannya. Robi hilang ingatan dan hidup menggelandang selama bertahun-tahun. Ingatannya kembali saat suatu hari ia tiba di sebuah telaga. Saat itulah sebuah gambaran akan danau lain tiba-tiba muncul dalam kepalanya. Dia ingat semua, Lana, rumah mungilnya yang beratap jerami, yang berada di tepi telaga. Telaga yang airnya sejernih kaca.
Dengan dipenuhi rasa syukur, Robi memulai perjalanannya pulang. Dia sampai di kampungnya saat sudah lewat tengah malam. Saat itu cuaca dingan dan berkabut. Tak ada seorangpun yang mengetahui kehadiran Robi.
Membuncah perasaan rindu dalam dada Robi. Kekangenannya semakin menjadi tatkala rumah di tepi danau yang dirindukannya kini sudah ada di depan mata. Dan di dalamnya, ada wanita yang dirindukannya lebih dari siapapun. Ia sudah tidak sabar ingin memeluk Lana dan mengajaknya bercinta.
Robi hanya beberapa langkah kini di depan pintu rumah mereka. Dia melihat jendela rumah sedikit terbuka. Entah kenapa dia mengurungkan niatnya untuk membuka pintu dan memutuskan untuk mengintip melalui jendela.
Alangkah terkejutnya Robi, mendapati istrinya tidur terduduk di meja makan mungil mereka. Dan lagi, di meja itu ada tatanan piring dan gelas dan makanan yang sudah tidak lagi hangat. Tatanan meja yang sama seperti dulu. Istrinya sedang menunggu seseorang. Siapa?
Lana tidak tahu aku akan pulang, tidak ada seorang pun di kampung ini yang tahu. Jadi untuk apa Lana menyipakan meja makan seperti dulu tiap dia menyambut kepulanganku?
Sejurus kemudian terbit air mata di pelupuk mata Robi. Mungkin Lana sudah menikah dengan orang lain. Itu sebabnya dia menata meja makan. Ya, itu pasti untuk menyambut suami barunya.  Seperti dulu saat dia menyambut aku.
Dua alur sungai kini menghiasi pipi Robi. Betapa dia sangat merindukan istrinya. Terpukul rasanya melihat kenyataan bahwa istrinya telah menikah lagi.
Tapi itu bukan salah Lana. Wajar jika Lana menganggapnya sudah mati karena dia tidak kunjung pulang bahkan bertahun-tahun setelah perang usai. Wajar jika Lana berhenti menunggu dan menikah lagi.
Robi harus mau menerima kenyataan, betapapun besar rasa rindu dan cintanya pada istrinya. Lana sudah bukan lagi menjadi miliknya.
Dilihatnya wajah tidur istrinya sekali lagi. Lalu ditutupnya perlahan jendela rumah mungil mereka agar hawa dingin subuh hari tidak masuk.
“Selamat tinggal Lana...”, bisiknya sedih lalu melangkah pergi menuju perbatasan. Robi merasa tak sanggup tinggal di sana jika harus melihat Lana bersama lelaki lain.
Beberapa puluh meter dia melangkah, Robi merasa mendengar bisikan; “Apapun yang terjadi, aku akan menunggumu, seperti biasa di meja makan itu”. Suara itu seperti suara Lana saat dia akan berangkat berperang dulu.
Robi menghentikan langkahnya dan menoleh, tidak ada siapa-siapa. Bisikan itu hanya khayalannya. Robi melihat rumah di tepi danau untuk terakhir kali. Dia bertekad untuk tidak kembali. Kemudian dia melangkah tanpa menoleh lagi.

9 Januari 2013

Jumat, 04 Januari 2013

Dear Donita


Seperti biasa, pagi ini Donita membuka kotak suratnya. Banyak email baru. Rata-rata ada belasan sampai puluhan yang masuk. Donita tidak pernah bosan membacanya dan memang tidak boleh bosan, karena membaca surat-surat elektronik tersebut termasuk bagian pekerjaanya. Lagipula, kebanyakan isi mereka sangat menarik. Donita seperti membaca naskah cerpen atau novelet. 

Sebagai penyiar radio swasta dan psikolog yang membawakan acara “Dear Donita” tiap malam, Donita akan membahas permasalahan seputar human relationship. Apa saja, mulai masalah remaja, hubungan anak dan orang dan tua, perkawinan sampai pembagian warisan. Makanya, radio mengundang pendengar untuk membagi kisah hidup mereka untuk kemudian dijadikan tema di “Dear Donita”. Biasanya Donita akan membahas suatu materi dari sudut pandang sains, lebih tepatnya ilmu psikologi. Lalu Donita akan memberikan saran-saran atau pesan motivasi yang bisa dipetik dari topik tersebut.

Pagi ini, seperti pagi yang sudah-sudah, Donita membuka kotak suratnya untuk memilih topik yang pas untuk dijadikan bahan siarannya nanti malam. Tapi hari ini ada yang menarik. Kening Donita berkerut, sesekali dia manggut-manggut, tersenyum, lantas berkerut lagi. Itu karena pagi ini dia menerima 3 surat elektronik yang sedikit tidak biasa.

...

Surat elektronik #1.
Dear Donita,
Aku hancur. Hatiku berkeping-keping karena suamiku tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri perkawinan kami dan memulai hidup baru dengan wanita lain. Dan aku tak kuasa menahannya. Karena aku tahu, aku sangat jauh dari sempurna. Aku jauh dari label istri idaman. Aku sadar, aku bukan istri yang baik yang bisa membahagiakan mas Romi.

Tapi Donita, aku sangat mencintainya. Mas Romi adalah cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya pertama kali waktu Fakultas kami membuat acara bakti sosial. Acara itulah yang akhirnya mempersatukan aku dan dia yang beda jurusan. Menjelang wisudaku, dia yang sudah lulus beberapa tahun sebelumnya mengajakku menikah.

Masa-masa pacaran dan pernikahan kami selalu indah. Kami hampir tidak pernah bertengkar. Mas Romi sangat dewasa dan jarang sekali marah. Selama ini Mas Romi yang kukenal sangat mendukungku. Selepas kuliah S1, aku melanjutkan kuliah S2 sambil menjadi dosen. Tidak mudah memang menjadi mahasiswa sekaligus dosen. Tapi Mas Romi adalah suami yang sangat suportif. Dia sama sekali tidak keberatan jika aku harus bergadang sampai malam menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Atau jika aku tidak bisa bangun pagi menyiapkan keperluannya karena malamnya bergadang menyiapkan presentasi. Malah dia sendiri yang bilang bahwa kami sebaiknya menunda punya momongan sampai aku selesai kuliah.

Tidak jarang mas Romi yang memasak karena aku lebih sering berkutat dengan buku dan laptop. Dia juga sesekali menyetlika sendiri pakaian kerjanya karena aku harus buru-buru berangkat untuk mengajar atau mengerjakan penelitianku di laboratorium.

Memang sih, ada terselip rasa bersalah karena tidak bisa menjadi istri yang sempurna bagi mas Romi. Namun aku sendiri tidak berdaya menghadapi gempuran beban pekerjaan dan tugas-tugas kuliah. Dan selama ini aku selalu merasakan dukungan dari Mas Romi dengan tidak menuntutku mengerjakan tugas-tugas seorang istri. Aku selalu merasa Mas Romi sangat mengerti. Aku sudah berjanji dalam hati, jika kuliahku selesai, aku akan menjadi istri yang lebih baik dari sekarang. Aku ingin mengganti semua hal yang kulewatkan selama ini.

Namun, sehari setelah sidang thesisku dilaksanakan, aku mendapat kabar yang menyesakkan dada. Ale, sahabat kentalku semenjak kami masih S1 dulu, tiba-tiba menghubungiku dan menunjukkan foto mas Romi sedang bergandengan dengan seorang perempuan cantik berambut panjang. Bisa bayangkan perasaanku waktu itu kan Donita? Rasanya dunia ini berantakan.

Ternyata benar Donita. Seminggu kemudian, mas Romi meminta maaf padaku karena dia sudah tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan kami. Dia bilang, aku tidak salah melainkan dia yang salah karena telah jatuh cinta pada perempuan lain.

Hatiku pilu tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Menangispun tidak. Aku merasa mas Romi tidak salah. Dia hanya menemukan apa yang tidak dia temukan di diri istrinya ada pada orang lain.

Wanita itu sungguh cantik. Sangat anggun serta keibuan. Aku bisa mengerti mengapa mas Romi jatuh hati padanya. Aku yakin suamiku akan lebih bahagia jika menikah dengannya.

Donita, entah mengapa aku hanya menurut saja. Sama sekali aku tidak berniat menghalangi mas Romi untuk beralih ke pelukan wanita lain. Apakah aku salah karena aku sama sekali tidak berjuang? Apakah itu karena aku sebenarnya tidak terlalu mencintai mas Romi? Sehingga aku biarkan saja suamiku pergi dengan gampangnya?

Bukan Donita, bukan karena aku tidak mau berjuang. Tapi karena dari awal aku sudah kalah. Aku diberi waktu 3 tahun mendampingi mas Romi dan tidak bisa membuatnya hanya mencintaiku saja. Seseorang di luar sana, tanpa kusadari, telah bisa memenangkan hati mas Romi.

Donita, justru karena aku sangat mencintainya, aku lepaskan dia untuk berada di tempat yang membuatnya lebih bahagia.

Sekarang, aku adalah prajurit kalah perang yang terluka. Tapi, aku tidak boleh terlalu lama bersedih, karena aku tahu masih ada orang membutuhkan aku. Mahasiswaku. Murid-muridku. Aku harus segera bangkit dari kesedihan walau sulit. Tiap hari aku teringat semua kenangan indah dengan mas Romi.

Mas Romi yang sesekali menemaniku bekerja dengan laptop sampai malam, sambil sesekali memijiti pundakku. Mas Romi yang sesekali membawakanku bekal makanan karena aku sering tidak sempat sarapan. Mas Romi yang kerap menungguiku mempelajari jurnal-jurnal sampai dia sendiri tertidur di sofa.

Tidak ada sedikitpun hal yang buruk yang bisa dikenang dari diri mas Romi dan itu yang membuatku sulit melupakannya. Sebagaimana aku pun sulit untuk membenci mas Romi maupun istri barunya.
Donita, terkadang cinta memang harus belajar melepaskan.
Doakan aku ya Donita, agar aku bisa segera bangkit dari kesedihan.

Dian.

...                         

Surat elektronik #2.
Dear Donita,
Jika kamu di suruh memilih, untuk menyakiti atau disakiti, mana yang lebih baik? Kalau aku, aku lebih senang disakiti. Karena ternyata, menyakiti itu rasanya jauh lebih menyakitkan. Apalagi, jika harus menyakiti orang yang kita sayangi.

Aku telah melakukannya. Aku telah menyakiti Dian, mantan istriku, orang yang amat kusayangi. Aku terpaksa meninggalkannya, sebelum aku menyakitinya lebih jauh lagi.

Aku juga tidak mengerti mengapa? Dulu aku sangat mencintai Dian. Mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku melihatnya pertama kali saat jadi panitia bakti sosial di kampus. Di mataku waktu itu, Dian sangat lucu, kecil, manis, pakaian kedodoran dan menenteng ransel yang ukurannya terlalu besar. Dian sangat bersemangat, berbicara sangat cepat, dan kalau sudah berbicara, terutama hal-hal yang menarik hatinya, matanya akan bersinar. Tangannya pun akan bergerak-gerak mengikuti kecepatan kata-kata yang meluncur dari bibirnya yang selalu tersenyum. Dian tidak pernah kelihatan capek. Dalam kondisi secapek apapun, Dian selalu melakukan satu hal. Senyum, dan senyumnya manis sekali.

Satu lagi, Dian sangat pintar. Dia selalu punya pendapat untuk semua hal. Dia adalah teman diskusi yang sempurna. Dian juga berhati emas, kepeduliannya akan sesama sangat tinggi. Cita-citanya adalah menjadi pengajar. Dia ingin menjadi dosen seperti Julia Roberts di film Mona Lisa Smile. Dosen yang out of the box istilahnya. Dia bahkan menjadi relawan untuk mengajar anak-anak jalanan sejak masih kuliah. Aku selalu membayangkan betapa indahnya jika aku bisa hidup bersama Dian sepanjang hayat. Dian, seperti namanya, akan bisa menjadi penerang dalam hidupku. Dan aku berharap aku pun bisa mejadi penerang dalam hidupnya.

Ternyata benar, hidupku selalu terang benderang. Dian adalah istri yang luar biasa. Walaupun dia mungkin tidak seperti istri-istri biasa yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tapi Dian tidak salah kok, bayangkan saja Donita, dia harus mengajar anak-anak jalanan tiap hari, dia juga harus ke kampus untuk mengajar dan dia juga adalah mahasiswa pasca sarjana yang harus melakukan penelitian untuk thesisnya.

Aku melihat, 24 jam waktu Dian dalam sehari tidaklah cukup. Dan aku sangat mengerti mengapa dia hampir tidak punya waktu untukku. Sebaliknya, aku sangat bangga bisa menjadi pendamping seorang wanita yang terus berkarya.

Seperti yang kuduga, Dian seperti namanya, sangat terang dan cemerlang. Bahkan kian hari kian benderang. Sementara aku tidak sanggup menandingi kecemerlangannya. Dian seringkali membagi pengalamannya denganku tiap kali kami punya waktu bersama. Seperti biasa dengan gaya bicaranya yang penuh spirit. Pengalamannya mendamaikan muridnya yang berantem, pengalamannya menghadapi orang tua anak-anak yang tidak suka Dian mengajari mereka, pengalamannya melakukan penelitian di lab, pengalamannya menghadapi mahasiswanya yang jatuh cinta padanya. Dian menceritakan semuanya hampir tanpa kecuali. Mulanya aku senang Dian mau berbagi, tapi lama kelamaan, aku merasa rendah sementara Dian terus meninggi. Dian sudah terang tanpa aku harus meneranginya.

Bukan, bukan karena dia sombong atau mengatakan hal-hal yang merendahkan aku. Itu lebih karena aku yang tidak bisa mengimbangi daya pikir dan semangat hidup Dian. Aku merasa menjadi pasangan hidup yang gagal. Lama kelamaan, aku bagaikan seekor pungguk yang hanya bisa memandangi bulan.

Sebenarnya aku bisa saja menghalangi Dian mengakhiri kegiatannya dan diam saja di rumah melayani kebutuhanku, toh aku suaminya. Tapi aku tak sanggup, Dian adalah matahari, matahari dibutuhkan semua makhluk. Bukan hanya aku saja yang membutuhkannya. Menghentikan Dian sama saja dengan menghentikan harapan banyak orang.

Tapi kian hari aku semakin tersiksa, sampai aku berjumpa dengan seseorang tanpa sengaja. Ilona, Adik seorang teman. Berambut panjang, kalem dan sangat keibuan, namun tubuhnya ringkih dan mudah sakit. Entah megapa, tanpa bisa kulawan, hasrat kelelakianku timbul tiap kali melihatnya. Dia bagaikan putri yang lemah tak berdaya, sementara aku bisa menjadi satria yang menyelamatkannya.
Bersamanya, aku merasa dibutuhkan.

Lama aku berpikir harus bagaimana. Aku sangat menyayangi Dian, tapi aku merasa bukan aku laki-laki yang bisa membuatnya terus meninggi. Aku tidak sanggup menghadapi kemandiriannya. Sedangkan Lona, kurasa aku telah jatuh cinta padanya, aku merasa menjadi pahlawan berkuda yang selalu dinantikan. Dengannya, aku merasa menjadi laki-laki.

Akhirnya aku sudah memutuskan, dari pada aku terus-terusan mengkhianati istriku. Dian hanya memandangiku dengan sedih. Aku tahu aku sudah menghancurkan hatinya. Dian yang kuat dan mandiri sama sekali tidak menangis. Ah, atau mungkin dia menangis di tempat yang aku tidak sadari. Yang jelas, senyum manisnya menghilang. Dia bilang, dia mengerti dan sama sekali tidak menyalahkan aku.

Sempat aku berpikir ini keputusan yang salah. Namun aku tahu aku tidak mungkin kembali ke masa-masa indah dengan Dian. Tanpaku Dian akan tetap indah. Dian akan tetap bercahaya.

Donita, cinta harus memilih sebagaimana aku memilih untuk menyakiti hati Dian. Aku tidak ingin menyesali keputusan ini sebagaimana aku tidak ingin Dian menyesal pernah mencintaiku. Ah, tapi aku tidak ingin terlalu berharap. Dian berhak membenciku sebenci-bencinya.

Aku hanya berharap semoga Dian segera menemukan senyumnya lagi. Senyum yang semanis gula.

Romi.

...

Surat elektronik #3.
Dear Donita,
Aku mengirimkan email ini karena aku tidak sanggup lagi menahan rasa bersalah. Aku telah melakukan hal yang jahat. Dan semua ini hanya bermula dari satu hal yang sangat klise. Cinta.

Tapi cinta bukan hal yang sepele. Apakah menurutmu cinta sepele? Bukankah cinta yang berada di balik banyak tragedi dalam sejarah?. Cinta yang menyebabkan Cleopatra, Julius Caesar dan Attila menemui ajalnya. Namun cinta juga lah yang menyebabkan ada bangunan seindah Taj Mahal.

Aku tak pernah meminta untuk mencintai seseorang sedemikian rupa. Aku pun setengah mati melawan perasaan. Tapi rupanya cinta lah yang memilihku untuk terus menanti seseorang yang mungkin tidak ditakdirkan untuk bisa kumiliki.

Bertahun-tahun aku memendam rasa cinta terhadap satu-satunya perempuan yang telah memerangkap hatiku dengan mudahnya. Semenjak perkenalan pertama saat kita sama-sama mahasiswa baru.

Dia sangat pintar, ceria dan lincah. Dia memiliki senyum yang sangat manis. Dan yang membuat istimewa, senyum itu hampir tidak pernah pudar dari bibirnya. Setidaknya selama kami berteman, aku tidak pernah melihatnya kehilangan senyuman, selelah apapun dia.

Kecuali saat itu, saat aku menunjukkan padanya bahwa suaminya bergandengan dengan perempuan lain. Perempuan yang dengan sengaja kupertemukan dengan suaminya untuk membuatnya berpaling.
Sepertinya ceritaku membingungkan ya? Baiklah, akan kuceritakan dari awal.

Namanya Dian. Kami bersahabat sejak kuliah. Kami saling membagi impian dan cita-cita. Sejak dulu Dian ingin menjadi pengajar. Memang dalam hal membagi ilmu, Dian sangat luar biasa. Dian bahkan mengumpulkan teman-temannya, menjadi sukarelawan untuk mengajar anak-anak jalanan. Itu dia lakukan semenjak kuliah sampai sekarang.

Tidak salah jika Dian banyak dicintai orang dan aku salah satunya. Tapi aku merasa di atas angin, karena aku adalah sahabat dekatnya. Hanya saja, Dian tidak pernah tahu kalau aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat. Aku memang sengaja menunggu saat yang pas untuk mengatakan padanya. Rupanya aku kurang cepat, Dian lebih dulu mengenalkan calon suaminya. Romi. Dan benar saja, tak lama setelah lulus mereka menikah.

Aku patah hati. Aku menyesali kenapa aku tidak segera melakukan hal yang seharusnya segera kulakukan. Seharusnya aku lah yang menjadi pendamping Dian. Nasibku persis seperti lagu 25 Minutes.

Pernikahan Dian tidak lantas menyebabkan hubungan kami terputus. Kami masih berhubungan walaupun tidak seintens sebelumnya. Itu karena aku sendiri sudah bekerja sebagai karyawan swasta sementara Dian masih tinggal di kampus melanjutkan kuliah S2 dan mengejar karir dosennya. Dari sana, aku tahu Dian sangat bahagia dengan pernikahannya. Suaminya sangat mendukung dan tidak banyak menuntut macam-macam dari Dian. Aku selalu berpikir betapa beruntungnya Dian.

Tapi sejurus kemudian, aku masih tidak bisa menerima. Dian seharusnya menjadi milikku. Aku yakin aku memiliki porsi cinta yang lebih besar daripada yang dimiliki suaminya. Denganku, Dian akan lebih bahagia. Entah sejak kapan, Dian menjadi semacam obsesi, padahal dia sudah menjadi milik laki-laki lain.

Donita, aku tidak heran kalau kamu menganggap aku aneh. Seharusnya aku berpikir, toh masih banyak perempuan lain yang bisa menjadi pengganti Dian. Tapi Donita, Dian tidak tergantikan. Aku yakin dia lah jodoh yang sudah ditentukan Tuhan untukku.

Sudah 3 tahun Dian menikah, obsesiku terhadapnya kian menjadi-jadi. Dian harus dipisahkan dengan suaminya. Akhirnya aku meminta Lona, sahabat adikku, untuk berkenalan dengan Romi. Aku mengaturnya agar kelihatan perkenalan itu tidak disengaja. Kenyataan bahwa Lona adalah adik kenalan Romi semakin mempermudah rencanaku.

Awalnya memang Lona keberatan karena tahu Romi sudah beristri. Aku sendiri pun sedikit ragu apakah rencana ini bakal berhasil, mengingat Romi pun sangat mencintai Dian.

Aku sama sekali tidak menyangka. Lona jatuh cinta pada Romi dan begitu pun sebaliknya. Karena aku lah sutradara di balik pertemuan Romi dan Lona, dengan mudah aku bisa mendapatkan foto mesra mereka berdua dan kemudian menunjukkannya pada Dian.

Akhirnya mereka bercerai, dan itu karena aku. Dian terluka dan senyum manisnya menghilang.
Tapi Dian sungguh luar biasa tabah. Kupikir mungkin karena murid-murid dan mahasiswanya yang membuatnya tegar. Aku tidak pernah melihatnya menangis. Atau mungkin dia menangis diam-diam ya. Dia bilang padaku bahwa suaminya tidak salah. Pernikahan mereka bubar karena dia tidak sanggup membahagiakan suaminya. Melihat Dian seperti itu, hatiku tertambat kian erat padanya. Kesedihan Dian membuat cintaku padanya kian tak terkendali. Kali ini aku tidak akan menyia-nyikannya lagi.

Donita, aku mungkin telah berbuat jahat, sangat egois. Namun bisa jadi ini adalah kesempatan kedua yang Tuhan berikan untukku. Aku akan berusaha menjadi kstaria yang akan mengembalikan senyum Dian seperti dulu lagi.

Donita, cinta memang memiliki 2 sisi seperti mata pedang. Taou bisakah aku menjadikan bagian tajamnya menjadi tumpul? agar kedua sisinya tidak lagi menyakiti hati orang yang kucintai.

Ale.

...

Donita menghela napas panjang. Hatinya bertanya-tanya apakah Dian akan berlabuh di pelukan Ale suatu hari nanti?
Ah, tapi itu bukan urusannya. Donita menyimpulkan bahwa cinta terkadang mengambil jalan memutar sebelum akhirnya berhenti di tempat yang tepat. Dalam hati ia memutuskan, itulah topik siaran “Dear Donita” nanti malam.
Sekali lagi Donita menghela napas lantas kembali tenggelam dalam surat-surat elektronik lain yang belum dibacanya.

2 Januari 2013
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)