Selasa, 20 November 2012

Trik Mengajari Anak Menghafal


Pagi itu sebelum berangkat kerja, saya sempatkan melihat buku penghubung Jasmine (TK B). Mana tahu ada catatan-catatan dari Ustadzahnya (yang jujur aja sering terlewatkan, hehe). Ternyata benar, Ustadzah memberikan informasi bahwa saat ini Jasmine sedang menghafal Surat Al Ma’uun dan mohon dibantu di rumah.
Sorenya begitu pulang kerja, dengan semangat 45 saya ajak Jasmine untuk menghafal. Metodenya standar, saya membacakan surat Al Ma’uun mulai dari ayat pertama dan saya suruh dia menirukannya: “Ara aytalladzii yukad dzibu biddiin”. Awalnya saya membaca sendiri dan dia mendengarkan, kemudian saya ajak dia membaca bersama-sama, kami mengulang-ulang hingga beberapa kali. Namun anehnya, tiap kali dia saya suruh mengulang hafalan sendiri, dia tidak bisa. Kami tidak membuat kemajuan sama sekali. Satu ayat pun Jasmine tidak sanggup menghafalnya. Padahal sudah saya pancing-pancing: “Ara...ara...ara...”.
Merasa sudah terlalu lama kami mencoba dan tidak juga membuahkan hasil, saya mulai emosi dan menyudahi acara belajar malam itu. Daripada emosi saya berubah menjadi amarah, lebih baik saya biarkan Jasmine beristirahat. Saya pun bisa menenangkan pikiran sambil mencari tahu mengapa Jasmine sulit sekali mengingat kata-kata yang sedemikian pendek, padahal sudah diulang berkali-kali.
Rupanya saya tidak perlu waktu lama untuk menyadari di mana masalahnya. Dan saya menyadarinya tepat keesokan harinya saat bermobil menuju kantor.
Supaya tidak sepi, saya biasa menyalakan radio yang memutar lagu-lagu Indonesia. Saya lupa waktu itu lagu apa, pokoknya lagu itu cukup populer dan hampir tiap hari selalu diputar di radio. Saya berusaha mengikuti syairnya, tapi tidak bisa sama persis dengan penyanyi aslinya (Bukan kualitas suaranya, kalau masalah kualitas sih tidak bisa dibandingkan karena saya spesialis penyanyi kamar mandi, haha...). Yang saya maksud adalah saya tidak bisa mengikuti syairnya persis, walaupun sudah mendengarkan berkali-kali.
Lantas ingatan saya melayang-layang ke masa puluhan tahun lalu, sewaktu saya masih SD, sewaktu saya masih belum bisa berbahasa Inggris, tapi kok bisa waktu itu saya hafal hampir semua lagu-lagunya New Kids On the Block? Saya coba mengingat-ingat lagi metode menghafal saya dulu. Yes, ternyata saya berhasil menghafal semua lagu dalam 1 album “Step by Step” karena saya mendengarkan lagunya sambil membaca teks lagu yang ada di sampul kaset. Mengingat masa kecil saya, saya lantas bersorak. Aha, mungkin ini bisa diterapkan pada Jasmine. Mungkin masalah Jasmine adalah dia kesulitan menyimpan inputan yang harus direkam secara auditori. Sama seperti saya yang harus membaca teks dahulu baru bisa hafal. Mungkin dengan membaca, Jasmine bisa lebih mudah menghafal. Hanya masalahnya, Jasmine belum lancar membaca. Tapi saya tidak kehabisa akal.
Begitu sampai di kantor, hal yang pertama saya lakukan adalah membuka Microsoft Word dan mengetik kalimat-kalimat berikut dengan ukuran font yang cukup besar:
Al Ma un
Aro aytal lazi yukad dibu bidin
Fada likal lazi yaduk ul yatim
Wala yahud du ala to amil miskin
Faway lul lil musolin
Alazi nahum an solat tihim sahun
Alazi nahum yuro un
Wayam na unal maun
Tidak lupa saya tambahkan warna yang berbeda untuk masing-masing kalimat agar lebih menarik. Seorang kawan saya melihat apa yang saya kerjakan dan memprotes tindakan saya. Mengapa saya menuliskannya tidak sesuai dengan makhraj? Mengapa tidak ada panjang pendeknya?
Saya bilang karena inilah cara agar Jasmine bisa menghafal, karena rupanya dia punya style belajar visual seperti saya. Cuma masalahnya, Jasmine belum bisa membaca huruf hijaiyah, dan dia juga belum lancar membaca huruf latin. Jadi saya harap dia bisa membaca kalimat-kalimat sederhana yang saya tuliskan dan memasukkannya dalam memori.
Alhamdulillah cara saya boleh dibilang berhasil. Pertama saya menyuruh Jasmine membaca kalimat tersebut satu per satu. Walau terbata-bata tapi toh dia bisa juga. Kemudian saya ulangi cara membacanya, tentu saja dengan cara membaca yang benar menurut ilmu tajwid, panjang pendek dan makhraj. Saya hanya perlu mengulang beberapa kali dan Jasmine pun bisa mengingatnya sendiri.
Saya merasa sangat lega. Bukan karena Jasmine bisa menghafal. Tapi karena berhasil memahami gaya belajar Jasmine, yang ternyata tidak jauh berbeda dengan saya. Gaya belajar Visual.
Semoga pengalaman menghafal ini bisa saya jadikan pelajaran untuk di kemudian hari menemani Jasmine mempelajari hal-hal yang lain. 

Note: Oiya, foto ibu dan anak di atas bukan foto saya, saya nyomot dari internet (hasil karya Gareth Brown)

Jumat, 16 November 2012

Apakah Blighted Ovum


 Pernahkah Anda mengalaminya? Saya pernah, dua kali malah. Dan dua-duanya berakhir di meja kuretase. Saya pernah bertanya apa yang dimaksud dengan blighted ovum? Mungkin karena menganggap saya orang awam, dokter hanya mengatakan bahwa blighted ovum itu bisa diibaratkan bakal benih yang kopong.

Sebenarnya apakah blighted ovum itu? Berikut ini penjelasan yang saya baca dari American Pregnancy Association.

Seorang wanita dikatakan mengalami blighted ovum apabila sel telur yang telah dibuahi telah menempelkan dirinya pada dinding rahim, namun tidak bisa berkembang menjadi embrio. Kantung kehamilan memang terlihat berkembang, namun embrionya tidak.

Blighted Ovum yang terdeteksi melalui USG. Tampak kantung kehamilan tapi tidak tampak ada embrio yang berkembang
Wanita yang mengalami blighted ovum biasanya tetap mengalami gejala awal kehamilan, seperti telat mens maupun tes kehamilan yang positif. Di awal, plasenta pun masih bisa terus berkembang (walaupun tidak diikuti perkembangan embrio) dan hormon hCG pun masih terus meningkat. Inilah yang menyebabkan banyak wanita mengira kehamilan mereka baik-baik saja walaupun sebenarnya sedang mengalami blighted ovum. Blighted ovum biasanya diketahui saat dilakukan USG yang menunjukkan kondisi kantung kehamilan yang kosong. Gejala-gejala seperti kram ringan di perut atau pendarahan ringan juga bisa saja terjadi.

Salah satu penyebab blighted ovum adalah kualitas sel telur atau sperma yang buruk. Bisa juga karena proses pembelahan sel yang tidak normal.

Lima puluh persen (50%) kasus keguguran di trimester pertama adalah disebabkan karena blighted ovum. Kabar buruknya adalah, belum ada tindakan yang bisa mencegah terjadinya blighted ovum. Namun jika terjadi keguguran berulang akibat blighted ovum, maka pasangan suami istri bisa saja melakukan tes-tes genetika jika dirasa perlu.

Kabar baiknya adalah, pasangan suami istri tidak perlu melakukan pencegahan kehamilan yang terlalu lama setelah mengalami keguguran. Kebanyakan dokter akan menyarankan pasangan suami istri untuk menunda setidaknya 1-3 kali siklus menstruasi sebelum memutuskan untuk membiarkan pembuahan terjadi.

Masih menurut American Pregnancy Association; sangat jarang memang seorang wanita bisa mengalami blighted ovum hingga beberapa kali. Kalaupun sampai harus mengalami, biasanya hanya terjadi sekali. Tapi saya bisa sampai dua kali, hehehe...Yang pertama di usia kehamilan 6 minggu dan yang kedua di usia 8 minggu.

Bagi yang sekarang sedang mengalami kehilangan karena blighted ovum, tidak usah resah. Sebab banyak kok kasus-kasus keguguran karena blighted ovum yang berujung pada kehamilan lagi.

Semoga artikel ini bermanfaat ^-^

Jumat, 09 November 2012

Jeruk-Jeruk Mbah Ti


Tujuh tahun lebih saya menikah dengan suami. Selama 7 tahun itu pulalah saya mengenal sosok Mbah Ti. Rumah Mbah Ti memang berada tepat di depan rumah orang tua suami. Setiap kali berkunjung ke rumah mertua, saya kerap menjumpainya. Namun saya tidak benar-benar memperhatikannya hingga beberapa bulan yang lalu, ketika saya juga ikut-ikutan menjadi tetangga Mbah Ti.
Mbah Ti berusia 70an. Kurus kering dan berkulit hitam. Mbah Ti bukan orang penting karena dia sebenarnya hanyalah seorang pemulung. Pekerjaannya tiap hari mengorek-ngorek sampah di sekitar kampung. Berharap ada barang-barang bekas yang masih punya nilai untuk dijual. 
Mbah Ti di suatu sore

Kalau tidak sedang memulung, dia kerap terlihat menjemur nasi setengah basi di atas tampah di depan rumah sewaannya. Sebenarnya rumah sewaan Mbah Ti tidak tepat juga dibilang rumah. Karena hanya berupa kamar berukuran 4x2 m yang dibagi menjadi 2 bilik. Satu bilik ditempati Mbah Ti dan yang sebelahnya ditempati seorang penyewa lain. Saya tidak pernah masuk, tapi dari luar saya bisa melihat dipan tempat tidurnya, lengkap dengan bantal guling tanpa sarung yang warnanya sudah tidak jelas. Putih keabu-abuan, atau abu-abu keputih-putihan. Untungnya tempat tinggal Mbah Ti letaknya bersebelahan dengan kamar mandi umum. Jadi dia tidak perlu kerepotan kalau memerlukan fasilitas MCK.
Mbah Ti dan bilik mungilnya

Kalau malam, terutama jika udara benar-benar gerah. Mbah Ti seringkali duduk-duduk di depan rumah dengan hanya mengenakan pakaian dalam model kuno yang sudah kedodoran. Tak jarang dia tampak menggosok-gosokkan balsem di kakinya untuk membantunya mengurangi penat. Sesekali dia menyapa atau menjawab sapaan orang lewat. Ketika malam semakin larut, dia akan masuk ke bilik mungilnya yang hanya diterangi sebuah bohlam berwarna kuning. Beristirahat mengumpulkan tenaga untuk kembali mengorek-ngorek tempat sampah keesokan harinya.
Saya punya kesempatan mengenal Mbah Ti ketika pembangunan rumah kami dimulai. Kebetulan rumah itu letaknya tepat di belakang rumah orang tua suami. Seperti kebanyakan orang yang sedang membangun rumah, selama proses pembangunan dan pindah rumah tentu saja banyak barang-barang rongsokan. Entah kayu, triplek, kardus bahkan besi-besi. Oleh Ayah saya –yang kebetulan menjadi pengawas proyek pembangunan – Mbah Ti diberikan ijin penuh untuk mengambil semua barang-barang tersebut. Kegirangan Mbah Ti sungguh di luar dugaan. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih sambil meminta maaf karena tidak sanggup membeli barang-barang yang dia ambil. Tentu saja dia tidak perlu membayar, bagi kami barang-barang tersebut sudah tidak ada harganya. Malahan kami kan justru terbantu, karena dengan diambilnya barang-barang tersebut, kami tidak perlu kebingungan menyingkirkan barang-barang yang sudah tidak terpakai tersebut.
Rupanya Mbah Ti bukan pemulung biasa. Merasa apa yang diambilnya adalah rejeki yang luar biasa, sesekali dia datang ke rumah sambil mengantarkan 1 kresek kecil berisi beberapa butir jeruk. Dia bilang, itu untuk mengganti barang-barang bekas yang dia ambil.
Kami semua benar-benar dibuat melongo dengan apa yang dilakukan Mbah Ti. Betapa besarnya keinginan Mbah Ti untuk menunjukkan rasa terima kasih. Sekalipun itu dia tunjukkan dalam bentuk yang sangat sederhana seperti beberapa butir jeruk lokal yang dia antarkan ke rumah kami.
Bagaimana dengan kita? Saya 99% yakin Anda dan saya memiliki tingkat ekonomi yang lebih dibanding seorang Mbah Ti. Dengan kondisi keuangan yang lebih baik dari seorang pemulung sampah, sudahkah kita tunjukkan rasa terima kasih terhadap orang-orang yang bersikap baik kepada kita? Sudahkah kita tunjukkan balas budi kepada orang tua kita? Terlebih lagi kepada Allah?
Mungkin kita tidak merasa bahwa sebenarnya kita banyak sekali menerima nikmat. Terutama dari Allah. Namun alih-alih berterima kasih atau membalas budi, kita sering malah melupakan karunia yang sudah kita terima. Lebih parah lagi, kita malah menggerutu dengan apa yang sudah diberikan dan selalu saja merasa kurang. Yang paling parah, kita malah menyalahkan Allah. Naudzubillahimindzalik.
Allah telah berfirman dalam QS An Nahl:18, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Allah memang tidak sama dengan kita yang bisa saja haus  diberi ucapan terima kasih usai berbuat suatu kebaikan. Allah tidak membutuhkan balas budi dari makhlukNya. Justru kita lah yang butuh berterima kasih pada Allah, sebagai perwujudan rasa syukur. Sebagaimana Allah telah berjanji dalam QS Ibrahim:7, “Dan, tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih"”.
Kita memang butuh bersyukur, agar Allah menambahkan lagi nikmat-Nya dan agar Allah tidak menurunkan azab-Nya.
Dan dalam hal berterima kasih, Mbah Ti adalah juaranya. Kami tidak memberikan uang ataupun benda berharga. Yang kami berikan hanyalah ijin untuk mengambili barang-barang bekas di rumah. Itupun sebenarnya juga salah satu bentuk simbiosis mutualisme karena toh kami diuntungkan dengan dibantu menyingkirkan barang-barang bekas. Tapi tetap saja, Mbah Ti merasa tidak cukup hanya berterima kasih di mulut saja. Jeruk-jeruk pemberian Mbah Ti adalah bukti keinginan besarnya membalas budi.
Nah, jika tidak ingin kalah dengan Mbah Ti. Mari kita belajar berterima kasih atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Sesederhana apapun bentuknya. Mari kita belajar mengungkapkan rasa terima kasih tidak hanya di mulut saja. Menambah intensitas ibadah dan membelanjakan harta di jalan Allah adalah beberapa di antara bentuk rasa terima kasih atas karunia Allah. Mungkin tidak selalu mudah, terutama yang bagian membelanjakan harta di jalan Allah. Tapi bukankah dalam segala keterbatasannya, toh Mbah Ti masih bisa membelanjakan uangnya untuk membelikan kami beberapa butir buah jeruk demi menunjukkan rasa terima kasihnya? 

Allah Maha Besar
Thank you to let me born as a moslem ^-^
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)