Senin, 24 September 2012

Kaliandra, Kecantikan Jawa Timur yang Tersembunyi



Akhirnya kami memutuskan untuk ke Kaliandra hari Minggu (23 September 2012) lalu. Awalnya kami hanya ingin refreshing sekalian makan-makan di luar rumah memperingati hari jadi Papa yang ke-60.
Kaliandra dipilih karena memenuhi beberapa kriteria; lokasi yang tidak terlalu jauh dari rumah kami di Surabaya, tempatnya belum pernah kami kunjungi, serta (harapannya) tidak crowded seperti halnya tempat hiburan lain di pegunungan (seperti misalnya Taman Safari, Jatim Park, atau Batu Secret Zoo). Satu alasan lagi adalah kami terprovokasi oleh seorang teman asal Jerman yang memuji-muji keindahan Kaliandra. Tidak hanya jadi ingin tahu, tapi juga jadi tidak ingin kalah. Masa bule Eropa sudah pernah ke sana sedangkan kami yang penduduk lokal malah belum?
Cuman masalahnya adalah, tidak ada satu pun dari kami yang mengetahui persis di mana lokasi Kaliandra dan harus lewat mana untuk sampai ke sana. Untunglah ada Blackberry dan Google yang membantu menemukan arah-arah ke Kaliandra. Akhirnya kami sampai di Kaliandra tanpa acara kesasar ^-^

Bagaimana Mencapai Kaliandra?
Sangat gampang. Ikuti saja jalan yang menuju Taman Safari II, Prigen. Mau lewat yang ada patung gading gajahnya boleh, mau lewat jalan yang lama (akses lama yang melewati pasar) juga monggo. Sesaat menjelang loket masuk Taman Safari II lagi-lagi kita akan ketemu sama patung gading gajah, nah tepat sebelum patung gading gajah itulah ada jalan ke arah kanan. Kalau memang berniat ke Kaliandra, segeralah berancang-ancang mengambil haluan plus menyalakan lampu sein untuk bermanuver ke kanan, begitu sudah melihat patung gading gajah dari kejauhan.
Setelah belok kanan, tinggal ikuti saja papan petunjuk yang ada di sepanjang jalan. Kira-kira dari belokan tadi jaraknya sekitar 2 kiloan lah. Memang sih papan penunjuknya tidak terlalu menyolok, tapi cukup kelihatan kok kalau kita jeli melototin jalan ^-^

Gerbang Kayu nan Sederhana
Jalan itu membawa kami ke sebuah gerbang kayu yang (menurut saya) sangat biasa. Sempat juga mengira bahwa bukan itu tempat yang kita cari. Tapi melihat tanda-tanda di depan gerbangnya, kami langsung curiga bahwa memang itulah Kaliandra.
Seorang petugas security keluar dan menyambut kami yang masih diliputi tanda tanya. Ternyata kami sudah berada di jalan yang benar. We’ve found Kaliandra. Setelah mengisi form tamu, bapak security yang ramah tersebut mengantar kami ke kantor marketing.

Begitu masuk, kami tidak merasa ada di tempat wisata, melainkan sedang bertamu ke rumah dengan halaman yang luas. Saya duduk di teras bergaya Jawa sambil menunggu petugas marketing yang dimaksud. Sambil menunggu sempat juga melihat sitemap lokasi Kaliandra. Hooo...di situ saya melihat ada Bharatapura, ada Hastinapura. Acara mempelajari sitemap terinterupsi karena seorang mas-mas yang tampak ramah menyapa saya sembari tangannya membawa brosur Kaliandra dan kartu nama.

Setelah berbasa-basi sejenak, kami memutuskan untuk makan dulu. Si mas yang ternyata memang ramah tadi berjanji untuk mengantar kami berkeliling kompleks Kaliandra setelah kami makan.

Makanan ala Restoran Kaliandra
Konon makanan yang diolah di restoran Kaliandra ini dibuat tanpa tambahan MSG. Sudah begitu, sayur-sayurannya pun adalah sayuran organik yang ditanam sendiri. Harganya relatif tidak mahal dan rasanya pun enak. Beberapa menunya pun cukup khas karena belum pernah saya lihat di tempat lain, taruhlah “Ikan Tengiri Bumbu Dabu-Dabu” atau “Tim Gurami dan Bunga Kecombrang”. Saya sendiri mencoba seporsi sop buntut, secangkir teh rosella hangat dan secangkir teh susu mint.
Seekor lebah yang berukuran lumayan besar turut bergabung bersama kami, turut mencomoti gumpalan nasi berbumbu dan membawanya terbang entah ke mana.
Sepertinya memang makanannya dimasak tanpa MSG, karena jika ada MSGnya kemungkinan tidak akan ada serangga yang berminat untuk mencicipi (begitu sih kata orang-orang tua).
Oya satu hal lagi, semua makanan itu kami nikmati sambil nongkrong di atas gazebo.

Bharatapura dan Hastinapura
Melihat gaya bangunan dan penataan layout Kaliandra membuat kita merasa berada di kompleks bangunan candi-candi Hindu. Ruang-ruang pertemuan didesain bergaya pendopo yang terbuka. Belum lagi penempatan beberapa patung-patung di beberapa lokasi. Ditambah lagi penamaan kompleks penginapannya yang juga beraroma Hindu; Bharatapura dan Hastinapura.
Bharatapura terletak di bawah sedangkan Hastinapura di atas. Kompleks penginapan yang dekat dengan pintu masuk adalah Bharatapura dan terdiri atas kamar-kamar twin atau single serta cottage-cottage bergaya asrama. Sedangkan Hastinapura merupakan kompleks bungallow yang berlokasi 7-10 menit berjalan kaki dari Bharatapura. Ada 5 (atau 6 ya?) bungallow berkapasitas 6 orang di sana plus sebuah kolam renang kecil bergaya pemandian jaman Majapahit. Air kolam tersebut katanya diambil langsung dari mata air Gunung Arjuna. Saya jadi mambayangkan betapa asyiknya berendam di kolam tersebut. Betapa tidak? Lokasinya yang dikelilingi pepohonan hijau dan beberapa arca dewa-dewa Hindu yang diletakkan di pinggiran kolam, membuat kita sejenak tidak merasa ada di Jawa Timur.

Kecantikan Tersembunyi di Lereng Gunung Arjuna
Yang membuat tercengang dan terbengong-bengong adalah saat kami sedang berjalan dari Bharatapura menuju Hastinapura. Kami melihat istana. Ya, istana di tengah hijaunya pepohonan Gunung Arjuna. Istana bergaya Eropa nan mewah, lengkap dengan seekor burung Merak jantan yang dibiarkan lepas berkeliaran di terasnya.

Pendengaran saya jadi agak-agak kabur karena masih tercengang dengan pemandangan di depan mata. Sehingga penjelasan dari sang pemandu jadi terdengar samar-samar. Sependengaran saya, bangunan semacam itu ada lebih dari satu. Yang satu ditempati oleh sang pemilik Kaliandra, dan yang lainnya lagi untuk disewakan dengan rate yang lebih mahal ketimbang rate hotel JW Mariott. Biasanya penyewanya adalah para ekspatriat.
Masih belum hilang kebengongan kami yang membayangkan bagaimana membawa material untuk membangun istana semacam itu di tengah gunung semacam ini, kami disuguhi kejutan lain. Di depan mata kami kini ada kolam teratai dan yang menjadi backgroundnya adalah villa bergaya kastil Eropa kuno lengkap dengan kolam renangnya. Bangunan itu ternyata juga disewakan, dibangun tahun 2004, namun eksteriornya sengaja dibuat seakan-akan itu adalah bangunan kuno abad 19. Satu-satunya sentuhan yang membuat sadar bahwa itu adalah bangunan modern adalah 1 set kursi teras berwarna putih yang masih tampak baru.

Mengapa Kaliandra Ada?
Melihat dan menjelajahi tiap sudut Kaliandra, terasa sekali tempat itu bukan dibangun untuk tujuan komersial. Berbeda dengan Wisata Bahari Lamongan, Jawa Timur Park atau Taman Wisata Selecta. Maksud saya begini,tempat tujuan wisata pada umumnya akan banyak dikelilingi orang berjualan, berwarna-warni dan meriah, papan-papan penunjuk jalan yang besar-besar tetapi “dingin”. Maksudnya “dingin” itu begini, tempat wisata biasanya bersifat “silahkan menikmati jika sudah membayar”. Tapi di Kaliandra tidak. Di sini, “hospitality” (saya kok lebih seneng menuliskan hospitality ketimbang keramahtamahan) bahkan sudah terasa semenjak kami belum melewati gerbang utama. Semakin terasa saat kami mulai memesan makanan dan berkeliling di lahan seluas 21 hektar tersebut. Kami benar-benar merasa seperti tamu yang dijamu, tidak seperti mengunjungi wahana wisata.

Saat itu hari Minggu dan Kaliandra sedang full booked, tapi sama sekali tidak terasa crowded. Kalau biasanya jika ke tempat wisata, yang dirasakan adalah capek karena harus ngantri membeli makanan maupun merasakan wahana permainan. Di Kaliandra, kami benar-benar merasa refresh, recharge, walaupun harus berjalan cukup jauh menjelajahi kompleks Bharatapura dan Hastinapura. Ini baru namanya wisata. Ini baru namanya tetirah. Sekalipun kami tidak sampai menginap.

Kaliandra konon katanya dimiliki oleh seorang pengusaha Indonesia berdarah Cina-Belanda. Konon lagi, saat ini beliau sudah berusia 70 tahunan. Beliau menginginkan Kaliandra menjadi sebuah “legacy” (saya kok lebih senang menuliskan legacy ketimbang warisan atau pusaka). Dari situlah tercipta Kaliandra, yang - menurut saya - merupakan perpaduan yang harmonis antara pendidikan, alam dan budaya. Dan melihat Kaliandra, saya rasa keinginan beliau telah terlaksana. Kaliandra telah menjadi sebuah “legacy” bahkan sebelum sang pemilik berpulang ke alam baka.

Kaliandra dengan segala pesona dan keramahtamahannya telah menawan hati kami. Kami bertekad untuk suatu saat kembali ke sana, melihat pemandangan yang belum kami lihat Minggu siang kemarin. Yakni melihat bagaimana wajah Kaliandra di waktu senja dan malam hari.

Masih banyak yang bisa diceritakan tentang Kaliandra, walaupun kunjungan kami ke sana sebenarnya termasuk singkat. Tapi saya tidak ingin bercerita terlalu banyak. Ini memang saya sengaja agar Kaliandra tetap menjadi misteri. Agar kecantikan Kaliandra bisa dibuktikan lewat lensa-lensa mata kita sendiri. Namun jika ingin melihat seperti apa Kaliandra, fasilitasnya, program-program yang ditawarkan dan lain-lain, silahkan kunjungi www.kaliandrasejati.org.

Semoga Bermanfaat ^-^

Kamis, 13 September 2012

Alquran Eyang, Sebuah Memoar


Ini bulan Ramadhan 1433 Hijriyah alias Bulan Juli tahun 2012 kalau versi Masehinya.
Sudah menjadi kebiasaan kalau di bulan Ramadhan frekuensi orang-orang membaca Alquran menjadi lebih tinggi dibanding hari-hari biasa. Berkat kemajuan teknologi, banyak sekali propaganda yang menyeru untuk mengintensifkan diri dengan Alquran via jaringan sosial saat masih bulan Sya’ban. Demikian juga halnya dengan seorang teman berkebangsaan Afrika yang berdomisili di Jeddah. Ia membagikan sebuah pesan; “How to complete the Quran for Ramadhan in 30 days. The Quran has appx. 600 pages. Read 20 pages per day. That’s only 4 pages after each salat”.
Hmmm, aku tidak pernah membayangkan bahwa ternyata semudah itu caranya bisa khatam Quran dalam waktu satu bulan penuh. Akhirnya aku bertekad untuk menjadi korban propaganda pro Alquran ini.
Tadi malam adalah malam keempat dan aku sedang mengaji manakala sebersit masa lalu tiba-tiba melintas. Entah kenapa tadi malam seketika aku teringat eyang, eyang putri, ibu dari ibuku yang biasa kupanggil yangti, dan sudah berpulang hampir 2 tahun yang lalu. Yangti pun dulu begitu, dia sangat akrab dengan Alquran sampai sudah khatam berkali-kali. Dan saat aku tengah berusaha mengkrabkan diri dengan Alquran, entah kenapa tiba-tiba ada rasa kangen yang luar biasa. Rasa kangen yang membuncah dan meledak dalam bentuk linangan air mata. I miss you so much grandma...
***
Yangti adalah seorang guru SD. Kalau tidak salah dulu di SD Putat dia mengajar hingga pensiun. Sejak dulu keluarga nenekku beragama Islam, tapi Islam KTP alias jarang sholat. Walaupun sholatnya bolong-bolong, yangti dan yangkung (Eyang kakung) punya semangat hablumminannas yang tinggi. Senang sillaturahim, rajin menjenguk orang sakit, rajin takziyah, rajin menghadiri undangan. Tak heran sanak saudara dan teman mereka banyak sekali, mulai dari yang memang asli saudara kandung, saudara angkat, saudara sepupu, sampai saudara jauh yang jadi saudara setelah sang ipar menikah dengan iparnya ipar sepupu. Halah, pokoknya mbulet jaya deh. Tapi kami senang karena keluarga kami selalu ramai, apalagi saat tiba Lebaran.
Keluarga nenek baru mulai menjalani sholat setelah ibuku menikah dengan bapak. Bapak adalah anak seorang petani sekaligus Lurah sebuah desa kecil di kabupaten Jombang. Keluarga Eyang kakung dari bapak memang bukan keluarga yang terlalu nyantri tapi cukup istiqomah menjalankan rukun Islam, termasuk sholat.
Masuknya bapak ke keluarga ibu sedikit demi sedikit mengubah yangti, yangkung dan adik-adik ibu (ibuku anak sulung) yang tadinya hampir tidak pernah sholat menjadi rutin sholat. Mereka pun mulai sering ikut pengajian. Dari sana, yangti mulai punya keinginan pergi Haji. Alhamdulillah Allah memberikan jalan padanya untuk pergi ke Baitullah. Sayangnya yangkung tidak bisa ikut berangkat karena saat itu beliau terkena stroke.
Begitu tahu akan berangkat Haji, yangti mulai berpikir untuk belajar membaca Alquran. Saat itu yangti benar-benar buta huruf hijaiyah. Sama sekali alias nol putul. Dia merasa malu kalau nanti pulang Haji tidak bisa mengaji. Makanya dia ingin belajar membaca Alquran. Tapi di kemudian hari baru aku tahu bahwa alasan sebenarnya dia mengambil kelas baca Alquran di Masjid Al Falah kala itu adalah karena aku.
Waktu itu yangti sudah pensiun. Aku yang waktu itu masih usia SD dan mengetahui bahwa nenekku belum bisa mengaji bertanya; “Yangti belum bisa ngaji?, Yangti kan sudah tua? Kok belum bisa ngaji?”. Kata-kataku yang ceplas ceplos itu rupanya telak menohok perasaannya.
Mereka, yang saat itu memang belum terlalu sepuh, baru 60an, kembali menjadi murid sekolah lagi. Semangat belajar kedua suami istri berusia senja itu luar biasa. Dalam waktu singkat, mereka segera bisa membaca Alquran. Well, mungkin karena itulah Alquran disebut-sebut sebagai mukjizat nomer satu Rasulullah. Kitab suci paling orisinil di dunia ini ternyata mudah sekali dipelajari, bahkan oleh orang-orang yang mulai dari nol sekalipun.
Ingatanku soal berapa lama kakek dan nenekku belajar Alquran agak kabur. Yang jelas, tak lama setelah mengambil kelas mengaji, Alquran berukuran jumbo kini menjadi bacaan wajib mereka berdua. Sampai akhir hayat.
***
Yangti adalah orang yang cerdas dan punya ingatan yang sangat kuat, terutama mengenai tanggal-tanggal penting. Dia bisa ingat semua tanggal kelahiran anak-anaknya (yang jumlahnya 6), menantu-menantunya (yang jumlahnya 6 juga), tanggal perkawinan anak-anaknya, tanggal lahir cucu-cucu dan cicit-cicitnya (baik yang hidup maupun tidak dan jumlahnya hampir sekodi). Bahkan tanggal kematian saudara-saudaranya.
Yangti juga gemar mendongeng. Apa saja dia dongengkan, mulai dari dongeng klasik anak-anak sampai sejarah hidupnya sendiri. Masa kecil yangti adalah masa jaman perang kemerdekaan. Dia bisa ingat satu per satu episode hidupnya saat kehilangan orang tuanya, saat dititipkan pada sanak kerabatnya, perjumpaan dan romantikanya dengan pria yang kemudian menjadi yangkung kami, hingga sedetail-detailnya. Dan kami cucunya (terutama aku) tidak pernah bosan mendengarkan ceritanya yang terkadang diulang-ulang. Aku senang mendengar sejarah hidupnya dan lagi aku senang melihatnya bernostalgia.
Yangti adalah anak paling tua. Dalam adat Jawa, saudara tua adalah saudara yang didatangi saat Lebaran. Maka tak heran, kalau rumah Yangti selalu ramai. Yangti selalu melakukan open house dan menu makanannya adalah Lontong Soto Ayam ala Yangti. Belum pernah aku makan Lontong Soto seperti masakan yangti. Belakangan baru aku tahu rahasianya adalah dari remasan bawang goreng.
Lontong Soto ala Yangti selalu dinanti-nanti para tamu. Pernah suatu kali anak-anaknya mencoba variasi baru dengan menyajikan Lontong Cap GoMeh, tapi rupanya menu itu membuat beberapa tamu jadi kecewa karena yang mereka harapkan adalah makan lontong soto. Akhirnya keluarga kami kembali menyajikan Lontong Soto di tahun berikutnya.
Aku, sebagai cucu paling tua tentu saja tidak pernah ketinggalan ambil bagian. Waktu masih remaja aku kebagian tugas membawakan Lontong Soto untuk para tamu. Mungkin yangti sekalian promosi kalau punya cucu perempuan yang masih single, hahaha.... Setelah dewasa tugasku digantikan adik-adik sepupuku sedangkan aku naik kelas menjadi tukang racik Lontong Soto di dapur.
***
April 2004, Yangkung meninggal, setelah 11 tahun semenjak serangan stroke pertamanya. Sejak pensiun dan kemudian bisa mengaji, Yangkung punya rutinitas. Bangun jam 3 pagi untuk sholat, kemudian mengaji hingga Subuh. Setelah Subuh mengaji lagi sebentar lalu dilanjutkan dengan merawat koleksi tanaman-tanamannya. Lalu istirahat, makan lantas mengaji lagi. Malam juga demikian, usai sholat Maghrib dan Isya dia selalu membaca Alquran yang ukurannya paling besar yang bisa dia temukan di toko buku. Memang mereka juga nonton TV setiap hari, tapi waktu mengajinya jauh lebih banyak daripada waktunya memandangi tabung elektronik tersebut. Hanya beberapa acara TV saja yang jadi kegemarannya. Kebetulan mereka berdua punya kegemaran yang sama, yakni sinetron dan telenovela. Itu pun hanya 1-2 judul yang mereka ikuti.
Yangti pun punya rutinitas yang tidak jauh berbeda. Tidak ada kitab atau buku lain yang dibacanya selain Alquran. Makanya aku tidak kaget manakala mengetahui mereka berdua bisa mengkhatamkan Alquran tiap bulan. Kecuali di bulan Ramadhan, Alquran bisa mereka khatamkan sebanyak 3 kali.
Yangti sangat istiqomah. Sholat malam dan mengaji. Kalau sudah sholat, lamaaa sekali selesainya. Sampai-sampai aku malas diajak sholat berjamaah karena takut kelamaan. Aku kan tergolong orang yang sibuk.
Terlepas dari kebiasaan sholat dan mengaji, kebiasaan masa muda dulu untuk “gaul” tidak ia tinggalkan. Yangti adalah orang pertama yang datang ke rumah saudara saat dikabari ada kematian. Bahkan kain kafan dan perawatan jenazah milik yangti seringkali dipakai oleh kerabat yang meninggal mendadak dan kebingungan bagaimana merawat jenazah.
Yangti memang tahu bagaimana merawat jenazah setelah mengikuti semacam pelatihan di masjid. Yangti bahkan jauh-jauh hari telah menyiapkan 2 set kain kafan dan perlengkapan jenazah untuknya sendiri dan yangkung jika sewaktu-waktu dipanggil Yang Maha Kuasa. Yangti tidak mau anak cucunya kerepotan menyiapkan tetek bengek perawatan jenazah untuknya.  
Bulan April 2011, yangti menyusul yangkung di usianya yang ke 73, tepat 7 tahun setelah yangkung meninggal. Walaupun usianya kepala 7, jangan membayangkan yangti adalah nenek-nenek bongkok dengan rambut kelabu. Well, memang sih rambutnya sudah tidak ada yang hitam dan kulitnya memang tidak bisa menutupi kesenjaan usianya. Bahkan anakku senang sekali memainkan kulit eyang buyutnya yang keriput. Walaupun kulitnya keriput dan rambutnya memutih, Yangti berbadan sangat sehat dan sangat fashionable.
Yangti adalah mantan pemain badminton dan tidak pernah bisa diam. Hobinya jalan sehat dan senam. Bahkan setelah pensiun, kakek nenekku itu pernah beberapa kali menempuh jarak Dukuh Kupang-Bratang Gede(rumah Ibuku) dengan berjalan kaki. Setelah usianya 70an pun, yangti masih rutin melakukan senam Jantung Sehat.
Yangti juga sangat senang bercocok tanam. Aku masih ingat waktu aku akan menempati rumah baru, dia menanyakan apa warna kesukaanku dan aku jawab oranye. Ternyata menjelang hari kepindahanku, Yangti telah menyiapkan 40 pot tanaman yang semuanya berwarna oranye menyala. Dia tahu cucunya ini sama sekali tidak gemar berkebun, makanya dia menyediakan hal-hal yang aku pasti tidak memikirkan. Sungguh aku girang luar biasa melihat deretan pot berwarna oranye di halamanku. Dan itu semua dia cat sendiri, satu per satu, dengan tangannya.
Yangti juga sangat fashionable. Kalau melihat koleksi pakaiannya, dijamin akan membuat geleng-geleng kepala. Yangti sangat gemar berdandan. Dia gemar pakaian dan aneka kerudung maupun aksesoris. Kalau aku sedang bertugas mengantarnya ke kondangan, terkadang aku merasa minder. Yangti sangat cantik, make up lengkap walau tidak menor, pakaian yang sangat feminin berupa kebaya dan seweknya, serta kerudung berlapis-lapis. Dan kesemuanya serba match dengan tas atau dompet tangan atau selopnya.
Sedangkan aku, haha...bagai bumi dan langit. Tas tanganku ya itu-itu saja, warna hitam dan hanya dipakai ke kondangan. Selopku juga bernasib sama, hanya sepasang selop berwarna gold yang hanya keluar dari dusnya kalau aku mau ke kawinan. Bedak tipis, sedikit blush on dan lipstick warna natural menjadi andalanku. Untuk baju pesta, seringkali aku meminjam kebaya milik Ibuku. Dan karena aku hanya bisa satu macam gaya berjilbab, itu lah yang kupakai baik ke kondangan maupun ke kantor; jilbab segi empat yang disemat di bawah dagu ala anak-anak madrasah. 
Kadangkala Yangti mengkritik penampilanku, kalau sudah begitu biasanya Ibuku akan meminjamkan koleksi tas tangannya, brosnya, maupun selopnya atau sekedar menambahkan eye shadow untuk menyelamatkan keadaan. Pernah juga dia bilang aku ini sederhana, namun sampai sekarang aku tidak yakin apakah itu pujian atau kritikan.
Hanya sekali di sebuah pesta dia bilang aku cantik. Waktu itu, seperti biasa hampir semua yang menempel di badanku adalah pinjaman dari Ibuku. Aku memang sedang hamil muda dan tiba-tiba jadi senang berdandan kala itu. “Wah, kowe nek ngene ayu banget lho Wuk (Nduk), anakmu wedok paling”, kata Yangti setelah mendaratkan ciuman di pipiku. Hahaha, aku mau ge er jadi batal, berarti aku jadi cantik karena bawaan bayi.
***
Proses meninggalnya Yangti cukup singkat, walaupun tidak dikategorikan mendadak.
Saat Lebaran terakhirnya, tidak biasanya Yangti mengumpulkan anak cucunya. Well, biasanya kami memang berkumpul, tapi sepulang sholat kami langsung melakukan acara sungkeman kemudian bagi-bagi uang untuk anak-anak. Hari itu sedikit berbeda, Yangti membuka acara sungkeman dengan pidato singkat. Isinya meminta maaf pada kami semua jika seandainya ada kata-katanya yang menyakitkan hati kami. Tak ada yang menyadari mungkin bahwa saat itu adalah tanda bahwa tahun depannya dia tidak akan ada lagi di antara kami.
Lebaran terakhir itu sudah tidak ada lagi Lontong Soto, berganti dengan menu masakan Cina dan bakso daging sapi yang disajikan prasmanan. Yangti cepat merasa lelah hingga anak-anaknya memutuskan untuk meniadakan Lontong Soto dan menggantinya dengan alternatif yang lebih praktis..
Beberapa bulan setelah itu, kami mendapat kabar Yangti masuk rumah sakit. Waktu itu sebenarnya fisiknya tidak sakit, sangat sehat seperti biasanya. Hanya saja tiba-tiba Yangti jadi pelupa, pelupa yang parah. Yangti pernah salah masuk kamar, kamar sepupuku dia kira kamarnya (waktu itu Yangti sudah tinggal bersama Tante). Yangti pernah salah memasukkan pakaian kotor ke keranjang sampah, bukan keranjang pakaian kotor. Kejadian yang paling parah, Yangti salah masuk ke rumah tetangga, mengira itu adalah rumahnya. Sebelum tinggal di rumah Tante, Yangti tinggal di rumahnya sendiri dan sering sekali lupa mematikan kompor.
Waktu aku menjenguknya di rumah sakit, dia memanggil namaku dengan nama sepupuku. Waktu aku sudah beberapa lama duduk di samping ranjangnya dia bertanya apa aku baru datang. Waktu aku pamitan, lagi-lagi dia menyebut namaku dengan nama sepupuku yang lain lagi. Tentu saja hati ini miris melihat keadannya. Yangti yang dulunya ingat tiap detail-detail sejarah, tiba-tiba jadi lupa nama cucunya sendiri.
Seminggu di rumah sakit, ternyata Yangti terdiagnosa kena tumor otak. Tapi ukurannya masih sangat kecil dan belum perlu dilakukan operasi. Dokter bilang, tumor itu butuh waktu lama untuk tumbuh dan menjadi bahaya. Akhirnya Yangti boleh keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah Ibuku dengan alasan lokasi yang paling dekat dengan rumah sakit.
Di rumah, penyakit lupanya semakin parah di minggu pertama. Yang paling parah, Yangti buang air di kamar tidur karena mengira kursi sebagai kloset dan mug air minumnya sebagai gayung. Tidak hanya itu, Yangti seolah kembali menjadi anak kecil. Makan pun tidak mau jika tidak diingatkan, apalagi mandi dan minum obat.
Dalam kondisi demikian, yangti tidak lagi berkebun, tidak lagi berolah raga, tidak lagi nonton sinetron dan juga tidak lagi mengaji. Alquran jumbonya tak lagi tersentuh. Padahal beberapa bulan sebelumnya Yangti membeli Alquran baru yang ada terjemahannya karena dia ingin mulai memahami arti ayat-ayat yang dibacanya. Lagi-lagi itu dia lakukan karena terprovokasi olehku.
Dia bilang, “Biarlah ngga ngerti artinya, yang penting dapat pahala dari tiap huruf yang dibaca”. Kemudian aku mempromosikan Alquran yang punya kalimat-kalimat yang sangat indah dan sudah saatnya naik level dari “hanya mengaji” menjadi “tahu artinya”. Akhirnya dia memintaku mengantarnya ke toko buku. Seperti dugaanku, ukuran Alquran baru tersebut super besar, dua jilid lagi. Sayangnya, aku tidak pernah tahu sudah sampai manakah dia membaca Alquran barunya itu.
Seminggu terakhir di rumah Ibu, nenekku itu seperti bukan nenek yang selama ini aku kenal. Yangti benar-benar kembali seperti anak kecil. Dari semua kebiasaan masa lalunya, hanya satu yang masih konsisten dia jalani. Dia tetap sholat. Awalnya masih bisa sambil berdiri tapi lama-lama dia memilih sambil duduk di tempat tidur. Entah karena kondisi otaknya yang sudah tidak normal atau tubuhnya yang sudah sedemikian akrab dengan sholat, Yangti bisa sholat berlama-lama. Dia bilang dia belum sholat padahal dia sudah salam. Dia sholat lagi dan lagi. Dia bisa sholat Dhuhur sampai 2-3 kali. Kami biarkan saja dia berlama-lama dengan mukenahnya di atas tempat tidur, menunggu sampai dia melepaskan mukenahnya dan berbaring lagi.
Yangti tidak lagi suka menonton televisi, padahal sebelumnya dia sangat suka sinetron Putri Yang Tertukar. Sebelum sakit, saking senangnya dengan sinetron, Yangti sangat bangga kalau aku bertanya-tanya bagaimana nasibnya si anu atau si itu di episode kemarin. Kalau sudah begitu dia akan bercerita dengan berapi-api. Sejujurnya aku juga tidak terlalu ingin tahu bagaimana nasibnya si Nikita Willy. Tapi aku senang saja melihatnya berbangga hati karena merasa lebih tahu daripada aku.
Entah seperti apa Yangti melihat dunia saat jatuh sakit. Pandangannya tidak kosong tapi redup. Bicaranya pendek-pendek dan sepotong-potong, padahal dulu Yangti sangat doyan bercerita. Sehari-hari kerjanya melamun, dunianya hanyalah kamar tidur, kamar mandi, ruang keluarga atau teras. Itu pun kebanyakan dilaluinya dengan bengong atau dialog-dialog pendek. Yangti seperti ada di dunianya sendiri. Terkadang dia seperti tidak menyadari keberadaanku yang menungguinya di samping ranjang, atau ikut berbaring di sampingnya. Melihat Yangti yang seperti itu, aku seringkali merasa kangen ingin dikeloni seperti waktu kecil dulu. Waktu tangannya menepuk-nepuk pahaku sambil menyanyikan tembang Dandanggula yang judulnya Semut Ireng.
Semut ireng
Anak-anak sapi
Kebo bongkang nyabrang kali bengawan
Keong gondang crah sungute
(seterusnya lupa)
Maka itu aku sering menemaninya di kamar sambil ikut berbaring. Kadang sambil kutanya-tanya ini itu, dan dia selalu menjawab dengan kalimat pendek-pendek. Tapi sering juga aku berbaring di sebelahnya tanpa kata-kata. Aku memandanginya dengan diam, tapi dia seakan tidak tahu aku ada.
Yangti seperti berada di negeri asing. Seperti komputer yang terkena virus, seluruh ingatan di kepalanya kini hilang dan hanya menyisakan potongan-potongan fragmen. Dalam dunianya itu, aku kerap melihat bibir Yangti bergerak-gerak. Belakangan baru aku sadar, Yangti sedang bertasbih, menyebut nama Allah tiada henti. Aku menyadarinya karena melihat jemarinya yang bergerak lemah  seperti sedang wiridan dan samar-samar aku mendengar kata “Allah, Allah...”.
Minggu kedua di rumah, kondisi Yangti semakin drop, bahkan tidak sadar. Lagi-lagi Yangti masuk rumah sakit. Perkiraan dokter yang menyatakan tumor Yangti akan bertambah ukuran dalam waktu lama ternyata salah. Ukuran tumor di otaknya sudah semakin membesar hanya dalam waktu 2 minggu. Yangti tidak pernah sadar lagi. Saat itu aku sadar, sepertinya saatnya akan segera tiba. Aku tidak tahu apakah ibuku juga menyadari hal yang sama.
Mata Yangti tidak pernah lagi terbuka. Namun bibirnya merespon manakala kami bisikkan kalimat tasbih, tahlil maupun istighfar di telinganya. Anak cucunya bergantian mengaji di sampingnya. Kalaupun ada jeda kami berhenti mengaji, giliran mp3 murottal Quran yang menggantikan kami.
Karena Yangti orangnya “gaul”, sanak saudara dan teman-teman tidak berhenti membezuk Yangti. Bahkan karena ke”gaul”an Yangti menular pada anak-anaknya, teman-teman dan saudara Ibuku, Bapakku, Om dan Tanteku juga datang membezuknya. Kalau aku datang ke rumah sakit, aku tidak pernah membawa apa-apa, yang ada malah membawa berbagai jenis buah, roti dan cake karena bawaan para pembezuk yang menumpuk di kamar paviliun. Anak dan menantunya bergantian menjaganya. Aku sendiri memang tidak pernah kebagian tugas jaga karena waktu itu anakku masih menyusu, tapi sepulang kantor hampir tiap hari aku ke rumah sakit sampai malam.  
Walau nenekku itu tidak pernah bicara lagi pada kami, kelopak matanya bergerak-gerak tiap kali kami ajak bicara. Sesekali mulutnya terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu. Kalau sudah begitu kami menuntunnya untuk menyebut nama Allah.
***
Hari Jumat subuh yang gerimis, telfonku berdering, dari Bapak. Entah kenapa aku tahu apa alasan Bapak menelfonku sepagi itu bahkan sebelum aku menjawab telfonnya. Benar, Yangti sudah meninggal dan aku sudah menduga. Seharusnya aku tidak terkejut, tapi aku tidak bisa tidak menangis.
Aku datang terlambat ke rumah duka. Yangti sudah dimandikan. Aku hanya bisa menatapnya. Aku ingin menciumnya tapi takut air mata ini menetesi wajah bersihnya.
Yasin pertama untuknya. Aku tidak sanggup membacanya karena sibuk mengendalikan isakan. Potongan-potongan kenangan dengan Yangti terus berputar di kepalaku sepanjang hari. Rasanya seperti melihat film-film lama. Air mataku, yang hampir tidak pernah diekspose di depan umum, kini mengalir terus tanpa kendali, sampai jenazah Yangti masuk ke liang lahat. Ah tapi biarlah, kulihat sekelilingku, semua orang juga melakukan hal yang sama.
Pelayat Yangti banyak sekali seakan nenekku itu adalah seorang pejabat. Kebanyakan dari mereka tidak aku kenal karena mereka adalah teman atau saudara dari saudaranya saudaraku. Deretan mobil memanjang hingga ratusan meter. Ah, betapa beruntungnya Yangti dilayat banyak orang seperti ini. Yangti memang terkenal di kalangan tetangga sebagai orang yang sayang sama semua orang.
Untuk beberapa saat, aku merasa iri pada nenekku. Iri melihat keistiqomahannya, iri melihat proses kepergiannya, iri melihat akhir hidupnya yang insya Allah husnul khotimah, juga iri melihat keakrabannya dengan Alquran dan sholat malam. Sebagai orang yang mengenal tuntunan Islam lebih dulu daripada dia, aku merasa kalah. Terlepas dari segala kekurangannya, Yangti telah berhasil memikat hati orang-orang di sekelilingnya, dengan perhatian dan kasih sayangnya.
Allah telah mengajarkan banyak hal lewat proses sakit dan meninggalnya nenekku. Yangti pun juga telah mengajarkan banyak hal yang mungkin tak pernah ia sadari, termasuk bagaimana menjalin ikatan kuat dengan Alquran.
***
Kini Alquran jumbo Yangti dan Yangkung tersimpan rapi di lemari. Tak ada yang ingin membacanya. Entah karena ukurannya terlalu besar dan tidak handy atau karena takut terkenang pada pemilik lamanya. Suatu hari mungkin, kalau mataku tidak lagi setajam sekarang, Alquran jumbo itu bisa saja kembali menemani hari-hari kami. Seperti saat ia menemani tahun-tahun terakhir perjalanan hidup kakek dan nenekku.

Ditulis dengan tinta kerinduan untuk: Yangti, Hj. Erwijasih
Citra Harmoni, 5 Ramadhan 1433 H (25 Juli 2012)
Jam 02.35.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)