Sabtu, 09 Juni 2012

Ternyata Kita Orang Tua Yang Tidak Fair


“Ternyata kita tidak fair terhadap anak-anak”
Memang kata-kata itu tidak ditujukan pada saya seorang. Tapi berhubung saya ada di sana saat kalimat itu diucapkan, saya ikut merasa menjadi tertuduh dan tentu saja saya tidak terima.
Bagaimana mungkin saya dibilang tidak fair? Semenjak bayi pertama kami lahir, saya merasa selalu melakukan apa saja agar bisa memberikan hanya yang terbaik untuk anak-anak. Saya merasa seluruh tenaga dan pikiran sudah tercurah untuk kepentingan mereka sehingga nyaris tidak tersisa waktu untuk memikirkan diri sendiri. Lantas, bagaimana bisa saya dibilang orang tua yang tidak fair terhadap anak-anak? Terus terang saya mangkel. Namun hanya selang beberapa menit, rasa kesal itu berubah menjadi rasa bersalah karena “tuduhan” itu tidak salah.
Adalah Bapak Mohammad Molik, pembicara tunggal Seminar Hypnoparenting yang beberapa waktu lalu saya hadiri kemudian menjelaskan mengapa kita dianggap tidak fair terhadap buah hati kita. Disadari atau tanpa disadari.

  1. Memberikan sisa waktu dan tenaga
Manakala kita pulang dari kantor di senja menjelang malam hari, dengan badan dan pikiran yang letih, mungkin yang kita inginkan saat tiba di rumah adalah rehat. Beberapa dari kita bahkan mungkin sesekali membawa pekerjaan kantor untuk dikerjakan di rumah. Sehingga, waktu buah hati kita mengajak orang tuanya bermain atau belajar atau menanyakan pelajaran yang dia tidak mengerti, bisa saja kita menolak dan menyuruhnya bermain atau belajar bersama ibu atau pengasuhnya. Atau kalaupun mau, kita hanya meladeninya dengan sekedarnya dan hanya sebentar saja, lantas kita berkata; “Sudah ya, besok lagi, Ayah/Ibu capek”.
Sejatinya, anak belum mengerti bahwa bekerja itu membuat capek. Mereka tidak paham bahwa bekerja itu menghasilkan uang yang notabene untuk kepentingan mereka juga. Yang mereka tahu, orang tua yang sepanjang hari tidak mereka jumpai kini ada di rumah dan mereka kangen untuk bermain dan tertawa bersama. Hanya itu.
Tapi para orang tua, yang mungkin waktunya untuk bertemu anak-anak jauh lebih singkat dibanding bertemu rekan kerjanya malah hanya memberikan waktu dan tenaga sisa-sisa untuk buah hatinya

  1. Mengungkit-ungkit jasa
“Papa kan capek kerja cari uang untuk kamu”
“Mama kan sudah capek-capek belanja, susah-susah masak, kok nggak dimakan?”
“Ayah/Ibu kan sudah begini begitu untuk kepentinganmu”
Bapak Ibu pembaca sekalian, anak-anak tidak pernah minta dilahirkan, sedangkan menafkahi, merawat dan membesarkan anak-anak adalah sudah menjadi kewajiban orang tua. Untuk apalagi Tuhan menitipkan anak pada kita kalau bukan untuk dirawat dan dibesarkan dengan baik?
Coba bayangkan, seandainya di rumah ada pengasuh anak-anak yang berkata demikian kepada Anda; “Saya kan sudah menjaga, sudah menyuapi, sudah memandikan anak-anak waktu Bapak Ibu di kantor”. Bukankah itu memang sudah menjadi tugas seorang pengasuh, dan memang untuk itulah  dia dibayar?
Jadi apakah pantas mengungkit-ungkit segala kebaikan yang sudah kita lakukan untuk anak-anak, sedangkan hal-hal baik itu memang sudah menjadi kewajiban yang sudah seharusnya dilakukan oleh orang tua?

  1. Memberi label yang buruk dan membandingkan
Ini sebenarnya inti dari Seminar Hypnoparenting. Tanpa disadari, kita seringkali memberikan label yang kurang baik kepada anak-anak, seperti misalnya; anak malas, anak bodoh, anak yang tidak tahu aturan, dan lain-lain.
Kalau diumpamakan pikiran anak-anak sebagai hardware komputer, kata-kata ataupun label buruk yang acapkali mereka dengar tak ubahnya software komputer yang terinstall dalam pikiran mereka. Anak-anak tidak akan memfilter apakah hal yang mereka dengar itu benar atau tidak, sehingga semua kata-kata yang ditujukan pada mereka akan tertancap begitu saja dalam otak mereka. Tidak heran jika kemudian mereka akan menjalani hidup dengan berfikir bahwa; “Aku memang malas”, “Aku memang bodoh”, “Aku memang tidak bisa diatur”.
Yang lebih parah lagi, kita seringkali membandingkan anak-anak dengan orang lain, semisal; “Kok adik nggak rajin belajar seperti kakak?”, “Kok si anu bisa lebih pintar daripada kakak?”, “Kok si itu lebih jago mewarnai daripada adik?”.
Coba kembalikan ke diri kita sendiri, pastinya kita pun tidak senang kalau dibanding-bandingkan dengan orang lain bukan?

Disadari atau tidak, kerapkali orang tua memperlakukan anak-anak dengan cara yang mereka sendiri tidak senang jika diperlakukan demikian.
Siapa sih yang senang kalau ditanggapi setengah-setengah?
Siapa sih yang senang kalau kebaikan yang sudah kita terima malah diungkit-ungkit oleh yang memberi kebaikan?
Siapa sih yang senang diberi julukan yang buruk?
Siapa sih yang senang kalau dibanding-bandingkan dengan kelebihan orang lain?
Saya yakin tidak akan ada yang senang, namun justru dengan cara yang demikian kita kerap memperlakukan anak-anak (yang selalu kita anggap sebagai bagian paling penting dalam hidup)
Itulah mengapa Pak Molik menganggap kita orang tua yang tidak fair.

Saat seminar Hypnoparenting itu digelar, saya menghadiri pemaparan beliau hingga selesai, tapi saya dan suami tidak mengikuti sesi tanya jawab. Entah mengapa, tiba-tiba saya merasa ingin cepat-cepat pulang, saya merasa sangat kangen pada kedua anak kami. Dipenuhi oleh rasa bersalah, saya ingin secepatnya bertemu dan memeluk mereka, sambil berharap semoga belum terlambat memperbaiki semua kesalahan yang telah saya lakukan selama merawat dan membesarkan mereka.

“Anakmu bukanlah anakmu. Mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka datang melalui engkau tapi bukan dari engkau. Dan walaupun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan kepunyaanmu. Kau dapat memberi mereka cinta kasihmu tapi tidak pikiranmu. Sebab mereka memiliki pikirannya sendiri. Kau bisa merumahkan tubuhnya tapi tidak jiwanya. Sebab jiwa mereka bermukim di rumah masa depan, yang tiada dapat kausambangi, bahkan tidak dalam impian-impianmu. Kau boleh berusaha menjadi seumpama mereka, tapi jangan berusaha membuat mereka seperti dirimu”. Kahlil Gibran

Dirangkum dari Seminar Hypnoparenting oleh Yayasan Nurul Hayat.
Bapak H. Mohamad Molik adalah founder Yayasan Nurul Hayat, dosen, wirausahawan dan juga ahli NLP  (Neuro Linguist Program).
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)